Haloooooooooo….
Nih dia cerita yang dah ditunggu-tunggu (geer pangkat sepuluh). Kali ini ceritaku agak panjang dan berliku…jadi mending ambil cemilan dulu ma minuman anget yeee. Buruan tapi…jangan lama-lama. Baik juga ambilin buatku sekalian. #timpuksandal.
Ok…here we go.
….
Hari selasa, kami check out pagi-pagi karena dah janjian ama sopir bus gemini untuk dijemput jam 6 pagi di depan gang Bajo view. Kenapa pagi-pagi? Supaya sampai pertigaan pela masih dibawah jam 11 siang untuk dapat otto ke Denge, desa terakhir sebelum Waerebo. Perhitungan kami, dengan berangkat jam enam pagi, kami akan sampai Pela sekitar jam sembilan atau sembilan lebih lah.
Kami dijemput di depan gang Bajo view jam enam kurang seperempat. Sehari sebelumnya kami dah telpon bapak sopir, pesen tempat. Keren kan…bis bisa dipesan dan ngejemput penumpang, lebih awal pula. Hah..pasti kami tidak akan terlambat sampai Pela. #gembirayangterlaludini
Rupanya itu bus masih berputar-putar di Labuan Bajo, menjemput penumpang satu-satu…kemudian berhenti dulu di depan penjual makanan. Kernet turun karena ternyata ada penumpang minta beli nasi bungkus dan minta tolong itu kernet bus. Dan kami pun ikut-ikutan beli. Ei…maklum, kami juga belum sarapan. Jadi kami sarapan dalam bus yang melaju ke arah Ruteng-Bajawa. Sepanjang perjalanan, bus sering berhenti. Ada aja penumpang yang meraa ingin beli oleh-oleh sepanjang jalan.
Ada penjual durian di pinggir jalan, seorang ibu teriak mau beli durian. Bapak sopir menghentikan bus trus nanya, “Berapa jual itu durian?”
“40 ribu!” jawab penjualnya.
“Aih…mahal ko. Tawar 25 sudah.” kata si Ibu.
“Dua lima boleh?” tawar sopir bus.
“Naik sedikit kah…belum dapat segitu.”
“Ahh…tidak jadi, Om.”
Bus kembali melaju. Beberapa kilometer kemudian ada lagi penjual durian. SI Ibu masih ingin beli.
“Berapa satu itu durian?” tanya sopir.
“30 ribu!”
“Dua lima boleh?”
“Beli berapa bapa?”
“Dua,” bisik si Ibu disamping sopir.
“Dua!” teriak sopir. Penjual itu menurunkan duriannya, menyeberang jalan, menyerahkan durian ke sopir dan menerima uang. Bus pun berjalan kembali. Aku dan Ka Ros saling pandang. Dan pikiran kami sama. Untung Nana ma Bingar gak ikut. Bisa muntah mereka naik bis dan mencium bau durian. He,he…
Narsis dalam bis Labuan Bajo – Pela
Bukan hanya karena membeli sesuatu bis sering berhenti. Terkadang bis tiba-tiba saja berhenti. Trus sopir turun. Penasaran kami nengok ke Belakang. Ternyata mereka duduk-duduk, merokok sambil ngobrol dipinggir jalan. Santeeeeeeee banget. Tuhan…kapan sampai Pela caranya begini.
Dan betul saja…setelah berhenti puluhan kali…dua kali pake adegan mogok dan perlu didorong itu bis (ngenes banget), kami akhirnya nyampai pertigaan Pela jam 10 lewat dikit. Begitu kami turun…kami langsung diserbu ojek. “Waerebo…waerebo?!”, tanya mereka. Kami hanya mengangguk. Mereka lalu berebut menawarkan ojek sampai Denge…desa terakhir sebelum Waerebo. Tapi kami tidak mau naik ojek…kami mau naik Otto kayu.
“Otto sudah lewat!”. Haaah…masa sih? Bukannya mereka turun ke Denge jam 11 atau 12 siang? “Sudah tidak ada Otto lewat Kakak…naik motor su!”.
Kami tidak percaya. Nih semua ojek sepertinya punya tampang tipu-tipu kecil. Aku menyeberang..menuju satu toko yang agak besar yang ada disitu. Beli minuman dan sekalian tanya masih ada otto ke Denge apa tidak? Ibu itu mengangguk curi-curi sambil melirik ke arah ojek…trus berbisik, “Otto turun lebih pagi hari ini. Tapi nanti masih ada lagi.”
Hmmm…untung!
Kami pun ndhoprok di teras toko itu..nungguin otto. Ngobrol sama mama-mama penjual jeruk dan keripik pisang. Tapi sampai siang…itu otto jurusan Denge tidak juga muncul. Yang beberapa kali lewat jurusan ke Narang. Narang ke Denge masih jauh pake banget. Si ibu pemilik toko bantu nanyain ke semua otto yang lewat soal otto ke Denge. Rupanya hari itu, otto dari Denge hanya jalan satu. Dan kami sudah ketinggalan. Huaaaaaaa…piye iki?
Kami menunggu sampai sekitar jam dua, habis beberapa plastik keripik pisang. Lewat di depan kami, bus kecil 1/4 warna merah jurusan Narang. Mereka diminta si Ibu pemilik toko antar kami sampai Denge. Awalnya mereka tidak bersedia. Tapi kemudian ada diskusi antara kernet dan sopir. Trus bilang, “50 ribu ya…biar kami antar sampai Denge.”
Normalnya…kalau naik otto cuma 25 ribu. Tapi berhubung kata si Ibu…mungkin otto lain tidak turun, jadi lebih baik kami ambil saja tawaran itu bus. Oke lah. Tak apa. Yang penting sampai Denge.
Didalam bis…kami duduk dibangku paling belakang. Suara musiknya kenceng banget, pas di kuping lagi. #Inimemangderitague.
Ada seorang ibu…yang ngaku katanya dulu orang Waerebo. Dia banyak sekali bicara dan bertanya, mengajak kami ngobrol meski kadang kami sendiri bingung dengan pertanyaannya.
“Dari mana?”
“Dari SUrabaya, Mama?”
“Kapan datang?”
“Sudah hari sabtu kemaren.”
“Ada perlu apa di Waerebo?”
“Berkunjung saja…”
“Jadi berangkat dari Makasar jam berapa?”
Makasar????!
….
Jalan ke waerebo ini sempit, rusak, naik turun dan belok-belok. Kalo ada 2 kendaraan berpapasan…salah satu harus berhenti dulu. Untung kondisi itu bisa dihitung jari. Kami seperti dibanting-banting didalam bis. Rupanya kernet bus itu paham pikiran kami. “Jalan rusak,” katanya. “Ini masih untung naik bus. Coba naik otto kayu, bisa kurus pantat.”
Hmmm…istilah baru.
Kurus pantat. #Cobakalianbayangkansebentar.
Penumpang mulai turun satu-satu. Tinggal kami berdua. Ditengah jalan…rupanya ada ketidaksepakatan antar sopir dan kernet. Sopir rupanya tidak mau mengantar kami sampai Denge. Si Kernet bersikukuh tetap antar karena tadi sudah janji. Semua penumpang yang masih tersisa sepertinya juga protes pada si sopir. Sayangnya kami tidak bisa menangkap isi percakapan mereka karena bicara dalam bahasa lokal. #Pusing.
Kami mau diturunkan di Narang. Trus diminta naik ojek saja. Kami tidak mau, karena Narang dengan Denge itu masih jauh. Dan belum tentu itu ojek mau kami bayar 50 ribu. Trus mereka bilang kalau tidak mau diturunkan di naranng, mereka mau turunkan kami di desa apa..kami tidak ingat namanya. Karena nama yang mereka sebutkan tidak pernah kami baca di internet, di blog-blog yang menjadi referensi kami, kami akhirnya nego…
“Kalau tidak mau menurunkan kami di Denge, tolong turunkan kami di Dintor,” kata kami. Dintor adalah nama lain selain Denge yang pernah kami baca. Setidaknya kami ada referensi bisa naik ojek ke Dintor dan berapa kami harus bayar ojek. Daripada diturunkan ditengah hutan begini? Hiiiii…ngeri.
Kami diturunkan di Dintor sudah jam lima sore. Sepi. Untung ada ojek dua di pertigaan kecil itu yang mau antar kami ke Denge. Sebenarnya Dintor ke Denge sudah tidak terlalu jauh. Sekitar lima belas menit kami sudah sampai di rumah Pak Blasius dan disambut orangnya langsung di halaman rumah. Leganya.
Begitu masuk rumah…kami mendapat suguhan kopi Waerebo. Hmmmmmmmm…mata kami langsung melek dan segar kembali. Kami langsung cerita-cerita dengan teman-teman baru di situ. Ada dua gadis manis dari Jakarta yang baru turun dari Waerebo, ada pastor Martin dan Pak Guru Steve. Pastor MArtin dan Pak Guru Steve akan menjadi teman satu rombongan kami naek besok pagi jam 5. Keluarga Pak Blasius ‘membunuh’ ayam untuk makan malam kami. Yang menjadi algojo, teman baru kami dari Jakarta. He,he…Terima kasih sudah ‘mengingat’ kami yang muslim, Pak.
Kanan-Kiri: Pak Blasius, Pak Conrad, Ros, aku, dua temen baru dari Jakarta
Selesai santap malam, kami bercerita dan bercanda sampai jadwal lampu padam aka jam sepuluh malam. Yups…listrik disini didapat dari panel-panel surya dan generator pribadi. Jadi musti hemat. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan dalam gelap..kami masuk kamar masing-masing. Sebagai pengantar tidur, Ka Ros mendongengiku tentang sejarah Waerebo yang baru dia baca dari buku tentang Waerebo di meja tamu Pak Blasius. Dan gayanya sudah seperti ahli sejarah saja. Tapi terus terang…aku cuma percaya 50%. Dia suka alay soalnya kalo cerita. Tidak jelas mana sejarah…mana khayalan. Seandainya ada bola kapas, mungkin sudah aku sumpal ke telinga. Hmmmmm
Night…night…
05.00 WITA
Kami berdua sudah siap di meja makan. Istri Pak Blasius menyediakan sarapan nasi goreng untuk kami. Dan ternyata, kami ketambahan anggota rombongan. Namanya Henry, mengaku dari Solo. Hm…jadi pagi ini kami akan naik ber lima ditemani Pak Conrad, adiknya Pak Blasius. Dan kami masih harus menunggu Pastor MArtin yang lagi mandi pagi. O la la…rajin banget pake mandi. Bentar lagi juga keringatan. Mungkin itu bedanya pendosa ama orang suci, bisikku ke Ka Ros. He,he..
Akhirnya jam setengah enam, kami memulai trekking ke Waerebo. Sinar bulan masih menyinari kami melewati tanjakan berbatu yang langsung gigi satu, alias nanjak gak ada putusnya. Ahaaaaaai. Pastor Martin ma Pak Guru Steve jalan sudah kayak kereta cepat buatan jepang aja. Beberapa saat, mereka dah membuat jarak yang jauh dengan kami. Kami tidak mau mati konyol kehabisan nafas dengan mengejar mereka, jadi kami menikmati irama kaki sendiri. Itu pun aku baru sadar, setelah jalan beberapa ratus meter..kok bayangan yang tadinya empat tinggal tiga biji. Noleh ke belakang, itu temen baru, Si Henry udah ngedomprok di pinggir jalan sambil ngos-ngosan. Alamaaaaaaaaaaak. Baiklah…karena kami ini baik hati sekali (ngucapinnya ditekankan banget), jadi kami tunggulah anak culun ini. Semenit…dua menit. Ok, dia bangkit lagi. Kami ajalah ngobrol-ngobrol…supaya gak terasa capek maksudnya.
“Hen..Asli Solo memang?”
“Papua-Solo sih.” Ooo
“Kuliah apa dah kerja?”
“Kerja.”
“Kerja dimana?”
“Timika.”
Hmmm, “Freeport?”
“Iya…”
“Haaaaaah…kau pasti bukan orang lapangan?” tebak Ka Ros.
“He,he…aku dikantornya!” Hah, menjawab sudah ama daya tahan jalan kaki-nya dia. Memprihatinkan pake banget. Dan..tadaaaaaaaaaa…dia berhenti lagi. Dan ini belum 50 meter lho. Ya ampuuuuuuuuuun. Bener-bener deh. Ok…kita masih baik hati. Ditungguin dong sambil selfie-selfie pake tongsis baru. Pas nafas Henry dah normal lagi…kami lanjut jalan. Jalanan masih berupa batu-batu kali yang ditata, tapi belum ditutup pasir…jadi lumayan sakit dikaki sih meski pake sendal.
Awal Perjalanan #Menuju Waerebo
Kami baru jalan 40 meter-an ketika Henry sudah hilang agi dari radar. Ternyata dia muntah sodara. OMG. Betul-betul muntah, mengeluarkan seluruh sarapan paginya. Wajahnya putih..pucat. Waduh…gawat nih kalo sampe pingsan. Gimana dia gak muntah…dia minum kami lihat sudah kayak unta saja. Dua botol yang dia bawa sudah habis.
“Jangan banyak-banyak minumnya Henry! Perutmu sakit nanti!” teriak Ka Ros.
“Gak pa pa kok…kalian duluan aja,” jawabnya sok banget. Kayak yang kami ini setega itu. Santai saja Bro…kami tungguin kok. Pantang bagi kami ninggalin temen di jalan (tapi kami juga ogah kalo disuruh balik kucing ke Denge).
“Pak…kira-kira, kalo jalannya seperti Henry ini, jam berapa ya kita sampai Waerebo?” tanya Ka Ros sambil bisik-bisik ke Pak Conrad, si Pemandu.
“Waaaaaaah…saya juga tidak bisa memperkirakan kalau begini,” jawab Pak Conrad sambil menggeleng prihatin.
“Ada gak, selama bapak jadi pemandu nih…orang lain yang jalannya selambat Henry?”
“Tidak ada…dia ini yang paling lambat.”
…
Untungah sebelum Henry putus asa dan memutuskan balik pulang, dan setelah melalui serangkaian istirahat setiap limabelas meter karena nunggu Henry, kami sampai juga di jalanan mendatar dan bahkan menurun. Turunan ini berakhir di sebuah sungai dan jembatan, dan ini merupakan akhir dari jalan berbatu. Diseberang jembatan kecil itu, ada pos 1. Horeeeeeeeee…nyampe juga di pos satu setelah henry menciptakan banyak pos bayangan antara rumah Pak Blasius dan Pos ini. Apalagi Pak Conrad bilang, yang susah memang jalan berbatu ini. Setelahnya nanti jalan tanah, lebih enak jalannya.
Bagaimana Henry? Lebih enak lho jalannya…
Di Pos satu kami beristirahat sebentar. Minum….foto…Pak Conrad bahkan merokok. Merasa cukup mengumpulkan tenaga, kami jalan lagi. Pak Conrad mempersilahkan kami jalan duluan, dengan pesanan jalan lurus saja tidak usah menyimpang. Ok deh Pak.
Pos satu
Jalan setelah pos dua ini berupa jalan setapak…dan meski semalam tidak hujan, karena cahaya matahari tidak menyentuh tanah karena rimbunnya pepohonan, suasana jalan agak lembab dan jadi agak licin. Ada beberapa pacet terlihat dijalan…tapi tidak sampai mengganggu. Padahal Ka Ros dah siap karet tali buat ngikat bawah celana biat Pacet gak sampe masuk. Dan yang dibilang enak jalannya ama Pak Conrad itu…gak tau deh, definisi enak itu seperti apa. Tapi ini jelas tidak ada enak-enaknya sama sekali. Jalan sempit (emang gak ada sih jalan lebar di gunung), licin, dan nanjak. No bonus. Setiap dari kami kalo lihat tikungan, bergegas pengen sampai di ujung. Bukan apa-apa…kami semangat banget ngintip, apakah ada jalan mendatar atau syukur-syukur menurun setelah tikungan. Tapi harapan hanya tinggal harapan. Jawabannya masih…naik…naik…dan naik. Dan sepertinya, kali ini..kami semua sepakat untuk menciptakan banyak sekali pos bayangan. Bahkan setiap seratus meter kami istirahat. Kami tahu persis itu seratus meter karena orang-orang lokal membuat patok-patok yang menyatakan masih berapa jauh kami dari Waerebo. Dan yang membuat kami ilfil adalah..tuh angka terteranya masih ribuan. Yang artinya jarak yang harus kami tempus masih hitungan 4 kilometer-an. Pengen deh aku tendang saja tuh patok menyebalkan. #Ops!
Ditengah-tengah pemberhentian yang tidak tahu lagi ke berapa…ada timbul harapan baru. Pak Conrad menunjuk ke atas…ke titik batu putih di kejauhan.
“Itu…yang putih kelihatan dari sini itu pos dua.”
Haaaaah…Pos dua. Bentar lagi nyampe dong. Dari Denge ke Waerebo itu ada tiga pos resmi (pos bayangan yang kami buat tadi gak sah dihitung ya prend). Nah itu pos dua, kalo kami sudah bisa melihatnya…artinya itu pos sudah gak jauh lagi kan? Jadi…hayoooo, cepetan.
Kami kembali bersemangat mengayunkan kaki. Apa daya…antara kemauan dan tenaga bener-bener tidak ada kata sepakat. Kami tetap saja berhenti setiap seratus meter. Dan yang lebih parah, kali ini kami dilarang berpegangan ama tanaman di pinggir jalan. Karena kata Pak Conrat, didaerah situ ada tumbuh banyak tanaman yang menyebabkan gatal. Nama tanamannya, Lanteng. Jadi kalau sampai kita terkena daun lanteng ini, siap-siap saja gatal selama enam bulan. Gatal yang menetap. Dan saking gatalnya, kita akan terus menggaruk daerah itu sampai terluka. Ih…amit-amit. Bener banget kalo Pastor Martin tadi mengingatkan kami buat bawa tongkat. Alih-alih tongkat kayu, kami bawa tongkat narsis malah. #Gayatidakpadatempatnya.
Dan dimanakah batu putih itu? Kenapa kami tidak nyampe-nyampe juga? Udah beratus-ratus meter kami jalan, tapi batu putih itu seperti menghilang. Jangan-jangan itu batu putih dah pindah tempat saking jengkelnya ungguin kami yang gak datang-datang, gerutu kami diantara istirahat untuk kali yang gak keitung.
“Itu…dua puluh meter lagi. Di kelokan itu…dikit lagi dah pos dua,” jawab Pak Conrad sambil tersenyum, nunjuk sebuah kelokan diujung jalan. Buset dah…itu mah bukan 20 meter kali ya. Lebih. Baiklah Pak…mari kita hajar itu dua puluh meter versi bapak.
Satu dua…satu dua…satu dua….
Setelah kami melet-melet mencoba melewati itu tanjakan, akhirnya batu putih kelihatan. Aaaaaaaaaaaaak…nyampe juga di pos 2!!!! Selamat…selamat!!! Kami hebat!!! #jogetlandak.
Pos dua ini cuma sebuah tikungan yang tepinya diberi pagar beton. Kenapa? Karena menurut Pak Conrad, dulu banyak bule-bule yang nongkrong sambil ongkang-ongkang kaki di tepi jurang ini. Masyarakat setempat ngeri melihat kelakukan mereka maka dibangunlah pembatas ini. Hm…baik hati ya mereka ni. Dan kejutan muncul di pos dua ini. Iya, kami menemukan Pastor Martin dan Pak Guru Steve menunggu kami disitu Aduh Pastor..kami pikir Pastor Martin ama Pak Guru Steve udah main tali di kampung Waerebo. He,he..
“Kalian ini bagaimana? Kami sudah kehabisan cerita, sudah selesai membuat puisi..kalian tidak muncul juga,” ledek Pastor Martin. Ha,ha…maaf Pastor, kami terlambat. Siksa saja Henry…dia biang keroknya.
Bentar ;agi pos dua yaaaaaaaaaaaa… #Mana?
Pastor ma Pak Guru memberikan kami istirahat sekitar lima belas menit sebelum akhirnya kembali mengangkat ransel dan mengajak kami kembali jalan. Merasa tenaga sudah sedikit pulih, nafas sudah teratur dan halus kembali, dengan riang kami pun beranjak. Jangan kalian tanyakan itu Pastor Martin ma Pak Guru STeve…mereka kembali sudah hilang di kelokan jalan. Hadewwwwwwww, cepet nian mereka ni. Tapi kami memang akui…secepat apapun kami berupaya melangkah, tak akan bisa mengejar kecepatan mereka. Jadi daripada kecewa…mari kita kembali menikmati irama kaki sendiri. #Upaya menghibur diri.
Beberapa ratus meter melangkah…sayup dikejauhan terdengar teriakan riang. Selintas mirip suara burung. Pak Conrad tak kalah riang menyahut dengan suara-suara seperti burung juga. Kami pikir itu suara para pemandu, dengan kode-kode atau sandi-sandi tertentu. Bahasa mereka.
“Ada tamu lagi yang naik, Pak?” tanyaku.
“O..itu suara anak saya yang kecil. Si Andrianus. Dia nyusul sama mamanya dari Kombo pagi tadi…,” jawab Pak Conrad santai.
“Umur berapa, Pak?”
“Empat tahun?”
Glodak!!! Empat tahun?!!!
“Digendong mamanya, maksudnya pak?”
“Jalan sendiri…”
Sampai disini saya tidak tega bertanya lagi. Tidak tega menhancurkan harga diri sendiri karena langkah kami kalah dengan si kecil Andrianus. Dan kami semakin bergegas melangkah. Bertekad tidak mau didahului si kecil itu. Malu-ku ditaruh mana???
Tapi itu tanjakan kenapa tidak kelihatan tanda-tanda mencapai akhir ya? Kata Pak Conrad, selepas pos tiga…jalan akan mendatar. Bahkan kemudian menurun sampai ke Waerebo. Mana pos 3? Mana? Masih jauhkan engkau pos 3? Kurang 1000 meter? Seribu meter itu satu kilo kan? Perasaan sekilo itu sih gak jauh (bayangin pake motor), dan gak bikin capek (bayangin pake ojek).
Dan suara-suara si Andrianus kok makin jelas aja nih. Padahal kami gak berhenti jalan lho…(berhenti kalo sebentar gak diitung kan?). O o…meski gagal dengkul, nafas udah gak jelas lagi iramanya..kami terus melangkah, pelan. Air botolku yang pertama dah habis…tapi tadi sebelum pos dua, dah diisi air gunung yang mengair dari celah-celah batu. Si Henry…dah gak keitung deh itu botol ke berapa? Ka Ros…bahkan ngutang air ma aku.
Akhirnya….pos tiga pun kelihatan. Dan kami merasa jadi juara. #Hueeeeeeek
Seperti yang lain-lain…pos tiga ini pun hanya belokan jalan. Sisi kiri tebing, sisi kanan jurang…yang kalau kita melihat ke sisi kanan, jauh…sejauh mata memandang, yang terlihat adalah hijaunya hutan, lembah dan punggung-punggung gunung. Kabut menutup sebagian besar puncak-puncaknya.
Disini lah akhirnya kami harus menyerah…Si Andrianus macam kancil saja berjalan melewati kami. Bercanda sebentar dengan ayahnya…trus lempeng aja jalan sambil bawa kresek hitam yang katanya berisi semua biscuit kesukaannya yang dibeli di Kombo. Mamanya ikut jalan dibelakangya. He,he…kayaknya Henry yang paling ‘tertampar’. Secara dia badan gedhe…bawaan cuma botol minum doang…eits, aku belum cerita kan kalo tas nya yang segedhe gaban itu dibawain ma Pak Conrad? Iya..jadi dia sebenarnya cuman lengang kangkung doang.
#BenerbenerprihatinliatHenry.
…
Kami tidak berhenti lama di Pos tiga karena si Andrianus manggil-manggil kami. “Ayo…ayo…!” katanya riang sambil berlompatan diantara batang-batang kayu yang melintang menghalangi jalan. Gemes dengan diri sendiri…kami maksain buat jalan. Dan alhamdulillah, jalurnya semakin manusiawi disini…meski ada sedikit nanjak…tetapi kebanyakan sudah mendatar. Dan bahkan beberapa menurun….terus menurun. Nah ini berarti sudah mulai dekat dengan kampung Waerebo. Kulihat itu patok sudah nunjukin 700 meter. Yaaaiiii…gak sampe sekilo lagi, Rek. Kami berpapasan dengan beberapa orang yang baru turun dari Waerebo…rupanya mereka menginap disana. Selalu mereka kasih semangat, “Ayo…dikit lagi.” Bahkan ada yang bilang begitu sambil kasih tanda jarak sesenti antara jempol dan jari telunjuknya. Menggemaskan.
Jalanan terus menurun…membuat Henry bahagia banget. Ho,ho…jalanan menurun itu artinya nanjak pada saat kami pulang. Huaaaaaaaaa…bikin mangkel bayanginnya, mending gak sah dipikirin.
Kami mikir Waerebo saja…apalagi rumah panggung mirip gazebo yang kami tunggu-tunggu dah ada didepan mata. Inilah spot terakhir kami diijinkan mengambil gambar. Setelah melewati gazebo ini, kamera musti masuk ke tas, tidak boleh motret apapun sampai dengan upacara adat penerimaan tamu dilakukan.
Pak Conrad membunyikan kentongan yang ada disitu, untuk memberitahu ke warga Waerebo kalau ada tamu yang datang berkunjung. He,he…seperti kembali ke masa kerajaan. Kami memanfaatkan mengambil foto desa itu dari titik ini. Masih boleh kan? Dan kami baru tahu isi tas Si Henry. Segala macam kamera ada. Mulai DSLR, underwater, smartphone, tablet, tongsis….Rempong kan? Sekarang ngapain coba ke Waerebo bawa kamera underwater? Mau nyelem dikali? #Gagalpaham.
Kaki kami yang gatal untuk segera masuk kampung mencegah kami untuk lama-lama istirahat. Bergegas kami berlompatan turun dari gazebo dan turun melintasi kebun kopi menuju perkampungan. Ada semacam pintu masuk terbuat dari bambu sebagai gapura. Trus halaman rumput yang luas…ditengahnya ada altar pemujaan dari batu yang bentuknya melingkar. Disekelilingnya, di pinggir halaman rumput yang luas itu…berdiri kokoh 7 buah Mboru Niang. Seperti kastil-kastil yang ada dipuncak gunung dalam film disney…Waerebo dengan Mboru Ninang yang ada di antara gunung-gunung ini menciptakan dongengnya sendiri. And it’s sooooooooooooooo beautiful.
Kami diajak Pak Conrad menemui ketua adat dulu…namanya Pak Alex. Pak Alex ini menyambut kami dengan ramah…mengucapkan lantunan doa dalam bahasa lokal dengan maksud supaya kami diterima oleh para leluhur mereka, dianggap saudara dan tidak diganggu.
Waerebo
#Negeri Dongeng
Ya…dalam adat masyarakat Waerebo, mereka percaya dengan keberadaan para leluhur. Bahwa para leluhur selalu bersama mereka, menjaga mereka. Mboru niang itu boleh saja dalam kasat mata jumlahnya tujuh. Tapi menurut Pak Blasius, dalam masyarakat Waerebo, Mboru niang itu ada delapan. Jadi kalo ditarik garis imaginer dari batu altar di tengah lapangan ke ketujuh mboru niang, ada bentuk seperti jaring laba-laba. Dan di penjuru mata angin yang ke delapan itu kosong, tidak ada bangunan fisik Mboru Niang. Tetapi kata Pak Blasius…dalam kepercayaan masyarakat Waerebo, bangunan Mboru Niang ke delapan itu ada. Dan itu tempati oleh para leluhur. Makanya kenapa mereka tidak berupaya membangun satu lagi mboru Niang untuk menggenapi karena sebenernya mereka mengganggap yang ke delapan itu ada, hanya tidak terlihat mata.
Selesai upacara penyambutan…kami keluar dari rumah besar, diajak ke rumah penginapan. Bentuknya sama…hanya saja rumah penginapan ini diperuntukkan untuk menerima tamu atau untuk tidur para tamu kalau menginap. Ada lima tingkat dalam Mboru niang. Tingkat teratas (kelima) untuk sesembahan bagi leluhur dan tingkat paling dasar untuk kegiatan sehari-hari. Setiap tingkat ada fungsi dan namanya masing-masing…dan kami tidak ingat namanya. #Susahdiucapinpakelidahjawa. Disini kami bertemu dengan Pastor Martin dan Pak Guru Steve yang sudah dijamu makan siang. Walaaaaaaaah…enaknyo.
Di rumah penginapan ini kami disuguhi pisang dan kopi Waerebo yang….hmmmmmmmm, nikmat banget. Warga Waerebo ini kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani kopi. Kami melihat banyak kopi dijemur di halaman rumah. Ada jenis arabica, robusta dan columbia. Dan kalian kalau kesana harus mencobanya seperti kami. Nagih banget rasanya.
Pak conrad bilang kami boleh keliling-keliling dilingkungan perkampungan Waerebo…boleh ambil gambar asal tidak menginjak altar sembahan ditengah lapangan karena itu disakralkan. Ok…lets messing around!
Gak ada judul
Kami bertiga, yang dah merasa segar terdopping kopi waerebo, langsung hunting foto mulai dari halaman sampai dapur. Ngobrol ma orang-orang disana, mulai nenek-nenek ampe anak-anak. Anak-anak ini dibawah usia sekolah semua. Karena begitu mereka masuk usia sekolah, mereka akan turun ke Denge atau Kombo untuk sekolah. Dan anak-anak ini rame sekali. Penuh rasa ingin tahu. Pengen ikut jepretin kamera. Dan aku sukses membuat anak-anak berantem gara-gara rebutan kamera. Bahkan satu anak sampai nangis karena berantemnya pake baku pukul. Aduuuuuuuuuh! Stoooooop! Ada yang mau permen?!, teriakku mengalihkan perhatian. Dan semuanya angkat tangan. Aku lari masuk penginapan, mengambil permen dari tasku. Dan begitu keluar lagi…O Tuhan, kenapa sekarang anak-anak itu jadi banyak ya. Takut gak cukup, coba kuintip kotak permenku…masih banyak. Ok, satu-satu aja.
Dan anak-anak itu aku tidak pernah hafal mana yang kuberi, mana yang belum. Tanga- tangan yang menengadah itu serasa terus ada sambil bilang, “Saya belum..”. Aduuuuhh, masa iya sih sebanyak itu anak-anak ini.
“Saya belum…”
“Coba buka mulut,” pintaku sebelum memberi permen. Dan banyak dari mereka ini yang udah ada permen dilidahnya. Dasaaaaaaaaaaaaaar!!!
Anak-anak Waerebo
..
Kelar bermain ma anak-anak disana, kami ganti mengganggu ibu-ibu mereka yang lagi menumbuk kopi. Mama-mama itu mengolah kopi mereka secara tradisional. Ka Ros bahkan bergaya…bantuin numbuk pake alu ama lesung itu. Dan itu biji kopi sukses berhamburan kemana-mana. Week, dijamin rasanya nanti gak karu-karuan kena tangan Ros Ginting. Apa sih yang enak ditangan dia selain rendang dan teri kacang? #sambilmelet
Nyoba jadi petani Kopi? #Gagaltotal
Tengah-tengah kami asyik ngerecokin Mama-mama numbuk kopi, pak Conrad manggil kami ke rumah penginapan untuk makan siang. Kebetulan, Pak…kami lapar pake banget. Semua energi sarapan tadi pagi habis tak bersisa..minus malah, terkuras saat mendaki. Semangat empat lima kami menuju rumah penginapan. Sudah menunggu kami di atas tikar pandan, nasi putih masih mengepul, sayur bening pucuk labu, telor dadar, kerupuk, dan sambal secawan kecil. Kami ini yang suka pedes sedikit kecewa dengan sajian sambalnya yang cuma sedikit.
Tanpa sungkan setelah dipersilahkan, kami menyenduk nasi dan sayur ke piring masing-masing…tak lupa lauk dan sambal. Suapan pertama….aku langsung menggapai-gapai, cari air putih. Henry pura-pura tidak tahu apa yang aku butuhkan. #Pengennendhang. Itu sambal ya ampuuuuuuuuuuuuuuuun…pedhesnya amit-amit. Ini cabe apaan sih yang dipakai. Sumpah, seumur hidup…ini sambal terpedas yang aku pernah makan. Menyesal juga tadi dah menganggap remeh. Pantas itu para mama cuma kasih sedikit. Kalo dikasih banyak, kami bisa diare kali ya.
Makan siang ini sederhana banget, tapi nikmat. Faktor pertama pasti karena kami semua pada kondisi lapar. Yang kedua…makanan ini fresh from tungku. Iya, dimasak pake kayu bakar. Yang ketiga…susananya. Coba bayangin, lo padha laper, trus makan ditengah bale Mboru Niang yang adhem, disuatu kampung yang mirip dongeng, di suatu tempat yang mirip cerukan dikelilingi gunun-gunung, sejauh mata memandang…terlihat hanya warna hijau.
#Ngilerkan?
Setelah makan siang, kami mengisi buku tamu disitu. Dan namaku tercatat sebagai tamu ke 738 tahun ini, Ka Ros ke 739 dan Henry ke 740. #Bangga ih. Setelah makan, kami bersiap untuk turun. Kami memang tidak berencana menginap karena kami mengejar otto ke Ruteng besok dini hari. Kami akan kembai nginap di rumah Pak Blasius.
Setelah beberes, tas Si Henry kembali berpindah ke pundak Pak Conrad. Kami berpamitan dengan Mama-mama di rumah penginapan dan menuju halaman. Kami masih menyempatkan mengambil foto di sesi-sesi akhir kunjungan kami. Terakhir..dipintu gerbang, kami minta Pak Conrad ambil foto kami bertiga. Dua kali jepreten dengan latar belakang ketujuh Mboru Niang. Trus kami juga ambil foto bertiga menggunakan tongsis Ka Ros. Kelar, kami pun kembali menapaki jalan setapak melintasi kebun kopi. Pulang.
Sebelum pulang
Di tengah-tengah perjalanan, tiba-tiba ada alarm berbunyi. Awalnya aku pikir suara hape. Tapi kan gak ada sinyal? Ternyata itu alarm dari hape Ka Ros. Ka Ros heran…lho, kan gak nyetel alarm? Nyetel alarm-nya tadi pagi kan? Tadi pagi malah gak bunyi. Kami bangun karena aku kebangun jam empat pagi lewat dikit. Trus, kata Ka Ros…itu alarm sedang dalam posisi off. Dalam arti tidak dalam posisi aktif. Kok?
Walaaaaaaaaaaah…Bismillah, semoga kami selamat sampai rumah.
Sepanjang jalan kami bercanda, berusaha tidak mengingat kejadian tadi. Si Henry malah godain para tamu yang naik dengan mengatakan, “Ayo…sudah dekat. Dikiiiiiiiiiit lagi…”. Hm…bisa begayo dia sekarang. Coba ingat tadi pagi?
Perjalanan turun ini cepat sekali. Bahkan tidak terasa..kami sudah sampai saja di pos dua. Disitu kami papasan dengan para kru Trans 7 yang lagi istirahat dan menuhin rest area. Kami tidak istirahat disini, dan terus jalan. Disini kami baru sadar…bahwa kami hebat sekali bisa melewati tanjakan-tanjakan ini. Tanjakan ini ternyatasangat lebih dari lumayan. Turunnya aja terpeleset-terpeleset. He,he…
Sepanjang jalan Ka Ros mewancarai Pak Conrad tentang kehidupan di Waerebo. Semangat sekali dia. Sudah mirip Desi Anwar mewancarai Dalai Lama saja. Serius banget. Taruhan berapa? Besok pagi dia sudah lupa dengan semua cerita itu…
Di pos satu…Oh…iya pos satu. Pos satu tempat si Henry memulihkan tenaga itu. Gak terasa banget udah nyampe pos satu. Disini kami ketemu serombongan anak-anak muda, belasan orang, yang baru mau naik. Mereka pikir kami nginap di Waerebo. Tapi pas kami bilang, kami naik tadi pagi dan sekarang turun…mereka riuh. Dan menjadi semangat lagi karena-nya. Maksudnya…kami aja kuat naik turun, masa mereka yang naik..trus nginap disana, besok baru turun…gak bisa? Selamat Mas Bro…masih jauh pake bingits itu. #Sttt, tentu kami gak setega itu ngomong.
Di perjalanan turun ini, yang membuatku tersiksa justru waktu kami menyusuri jalanan berbatu. Rasanya sakit semua kaki. Mana kaki sudah mulai lelah dan ngangkat telapaknya dah gak bisa setinggi tadi pagi…alhasil sering banget terantuk batu-batu di situ. Hm, ini rupanya yang dibilang susah ma Pak Conrad tadi pagi. Disini Pak Conrad juga cerita. Katanya, tadi pagi dia stress lihat kondisi Henry, da betul-betul tidak yakin Henry bisa nyampe Waerebo. Trus Pak Conrad berdoa, waktu kami berangkat duluan selpas pos satu, memohon supaya Henry diperingan langkahnya.
Dan percaya atau tidak…selepas pos satu, Si Henry bisa mengimbangi langkah-langkah kami. Berjalan dalam kecepatan normal dan lelah dalam masa yang normal. Padahal sebelumnya, haduuuuuuuuuuuuuuh…kami dah mulai mempersiapkan mental kalo harus mengantarnya balik ke rumah Pak Blasius. #Kemungkinanterburuk.
Selah jalan selama dua jam lewat dikit, kami akhirnya sampai dirumah Pak Blasius. Disambut Pak Blasius yang sedikit heran karena kami dah sampai rumah sore itu. Ha,ha…belum tahu cerita soal Henry saja.
Dirumah, sambil istirahat, kami melihat foto-foto yang kami ambil diatas. Dan Ka Ros mengagetkan kami dengan mengatakan foto kami yang di pintu gerbang waerebo tidak ada. Gelap. Hitam. Seperti tertutup jari-jari tangan. Hah? Padahal kan kami foto dengan tongsis. Tangan siapa?
Penasaran, aku lari ke kamar dan mengambil kamera sakuku. Membuka file-file foto, mencari foto yang diambil Pak Conrad dua kali di tempat yang sama. Dan aku lemes, kedua foto itu juga tidak ada.
Kami bertiga, aku, Ka Ros dan Henry hanya bisa saling pandang. Tak Mengerti.