Journey to The East 4: Lima Jam (Terlantar) di Ruteng

Seharusnya kami tahu bahwa jangan pernah menggantungkan harapan pada satu manusia bernama Ivan Saka. Sebelum memasuki daerah Denge…di Pela aku sudah menghubunginya, mengatakan akan ke Waerebo. Dan Kamis pagi, kami akan ke Ruteng untuk ke Bajawa. Waktu itu pilihannya belum jelas, antara ke Riung atau ke Bena. Ivan bilang, “Gampang sudah kalo di Ruteng…saya ada di rumah. Nanti saya atur kendaraan. Telpon saja begitu keluar dari sana (Waerebo).”

Hmmm…baiklah! Ivan ada di Ruteng itu jelas berita bagus. Karena sebelumnya kami pikir dia sudah ikut Pra Jabatan. Dan sebenernya, minta tolong Ivan ini plan B. Plan A nya adalah, kami mengejar travel pagi dari Ruteng ke Bajawa untuk mengejar bus ke Riung atau sekedar melihat kampung Bena. Tapi ya itu..Lha wong Ivan kok dijadikan plan Back Up. Pasti berantakan.

Nah…Kamis pagi itu, sudah lewat pukul tujuh waktu kami sampai terminal Mena. Kami duduk dibangku terminal dengan aku mencoba menelpon Ivan. SMS yang aku kirim sejak dapat signal dalam perjalanan keluar dari Denge tadi belum terbaca. Sekali tidak diangkat. Dua kali tidak diangkat. Tiga kali…aku menyerah.

“Coba ko telpon Treddy,” pintaku ke Ka Ros.Tapi ternyata Treddy, adik Ivan, ada di Surabaya lagi ngurus STR, Treddy minta kami telpon Ivan. Tapi trus dia ikut panik pas kami bilang Ivan tidak bisa dihubungi.

“Pasti dia ketiduran dan gak ada yang bangunin Ka,” kata Treddy. Yaaaaaaaaaah, itu juga yang kami duga.

Kami akhirnya menelpon Cika…temen sekelas kami waktu kuliah. Cika sedang jaga pagi. Kami tahu bagaimana kerja di rumah sakit. Pasti dia tidak bisa berkutik atau nekad menemui kami karena punya tanggung jawab ke pasien. Kami sudah cukup bersyukur diarahkan Cika untuk pergi ke travel Gunung Mas (travel yang punya reputasi bagus di Flores) dengan ongkos angkot sepuluh ribu sampai tempat (diantar ke agen travel). Informasi dari Cika ini menyelamatkan kami dari keharusan membayar dua kali lipat lebih mahal, seperti yang sebelumnya ditawarkan sopir angkot. Sopir menyetujui kami membayar sepuluh ribu perorang sampai ke agen travel.

Terminal Mena dengan kota Ruteng sebenernya tidak jauh. Sebentar saja kami sudah masuk kota kecil ini. Dan itu sopir berusaha membujuk kami untuk ikut travel-travel tidak jelas di kota. Mereka bilang, travel-travel itu juga akan ke Bajawa. Langsung berangkat, gak pake nunggu. Gunung Mas ke arah Bajawa sudah berangkat. Jadi percuma ke Gunung Mas. Hah…siapa juga mau percaya dengan tampang-tampang mereka nih. Model tipu-tipu. Tentu saja kami keukeuh tidak mau, dan tetap minta diturunkan di agen Travel Gunung Mas seperti janji sebelumnya. Meski gondhok, itu sopir mau juga nganterin kita. Hm…sepertinya mereka dapat fee kalo kami bersedia naek travel tidak jelas yang mereka tawarkan.

Di depan agen Gunung Mas, tuh sopir angkot minta aku turun dulu nanyain jadwal travel. Kalo gak ada, mereka mau antar kami kembali ke travel yang tadi ditawarkan. See? Ngotot banget kan?

Aku turun, dan sama petugas di agen dibilang…travel pagi memang sudah berangkat. Tapi nanti ada siang jam dua. Lima jam lagi. Well, we didn’t have any choice. Yo wes…turun. Ka Ros langsung ngacir cari kamar mandi. Busyet dah tuh orang. Aku nyari-nyari duit duapuluh ribu di dompet gak ada. Terpaksa lah aku kasih uang 50 ribu ke sopir dan dikembalikan 20 ribu.

“Kurang nih kembaliannya,” kataku melihat itu duit cuma duapuluh ribu.

“Pas kaka.”

“Pas bagaimana? Limapuluh dikurangi duapuluh bukannya kembali tigapuluh,” tegasku. Aduuuuuuuuuuh, seperti ngajarin pengurangan sederhana sama anak SD.

“Ongkos orangnya sepuluh memang. Tapi itu barang bayar juga lima ribu,” jelasnya tanpa rasa berdosa sambil nunjuk ke ransel yang aku gendong. Apa?!!! Sejak kapan tas bayar sendiri? Toh tas ini tidak menuhin tempat, dan tidak ada penumpang yang tidak dapat tempat duduk karenanya. Dasar tukang tipu! Otak isinya tipuan melulu!

Rasanya di kepala tiba-tiba muncul tanduk dan gigi menjadi bertaring. Pengen nyeruduk itu sopir. Menyebalkaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan! Dan yang bisa aku lakukan hanya membanting pintu angkot sekenceng-kencengnya.

Para pegawai di Agen Gunung Mas hanya bisa menggelengkan kepala saat menanyakan ada apa. Dan aku jengkel ma Ka Ros yang ngabur saja ke kamar mandi. Ini pasti gak akan kejadian kalo kami bayar pake uang pas. Bukan duit lima ribunya, tapi jengkelnya kena tipu ma sopir ini. Iiiiiiiiiiiiih! Pengen makan orang.

Kami mendinginkan pikiran dan kembali mengatur strategi disini. Travel pagi sudah kelewat, gara-gara otto yang gak on time nyampenya (molor hampir dua jam dari seharusnya). Harapan kami hanya Ivan. Kalau dia bisa antar kami ke Bajawa, bolehlah kami skip Riung, setidaknya masih bisa liat Kampung Bena.

Tapi Ivan belum ada kabar berita. SMS terakhirku yang nanya, “Ko ada dimana?” belum terjawab. Dan hari semakin siang. Semakin banyak orang datang ke agen untuk pesan Travel ke Ende. Dan kami mulai khawatir, kami tidak kebagian seat kalau terus menunggu Ivan. Kami diberitahu pihak gunung Mas, kalau berangkat jam 2 siang, sampai Bajawa sekitar jam enam atau tujuh malam. Tapi kami hanya diturunkan di terminal, mobil travel tidak masuk kota Bajawa. Hm…dan mengingat terminal-terminal yang kami lewati, kami mulai ragu ada kendaraan umum jam segitu menuju kota Bajawa.

Bismillah…akhirnya kami membeli tiket langsung Ende (sambil menangis dalam hati karena tidak jadi melihat kampung Bena). Tapi kami memang harus memilih.

Setelah memesan tiket dan membayar, kami menitipkan ransel di Agen Gunung Mas dan pamit cari makan. Treddy dah ngasih tahu ke Ka Ros, disekitar sini banyak tempat makan. Yang kami lakukan hanya jalan ke arah kota sedikit. Dan kami diperempatan menemukan warung padang dan warung Jawa. Tapi baru Warung Jawa yang buka. Kami masuk memesan nasi Gule untuk menu sarapan kami yang terlambat pake banget. Pelan-pelan kami sudah berdamai dengan hati, dan bisa menerima kenyataan bahwa kami tidak jadi ke Riung atau ke Bena. Traveling pake kendaraan umum ya begini. Kadang ada hal-hal terjadi diluar perkiraan, dan rencana harus berubah ditengah jalan.

Ruteng yang dingin

Ruteng yang dingin

Habis makan, kami kembali ke agen dan ikut nge-charge hape. Buka-buka internet, facebook dan WA yang selama di Denge dan Waerebo tidak berkutik. Upload beberapa foto ke facebook. Membaca komen temen-temen yang menghibur hati.

Dhuhur datang. Suara adzan terdengar cukup dekat, jadi pasti mushola atau masjid tidak jauh dari sini, yang di iyain ama pegawai Gunung Mas. Hanya perlu jalan dikit ke arah kota trus belok kiri, katanya.

Ok. Aku beranjak cari masjid…diikutin Ka Ros. Ruteng kota yang dingin. Tapi dinginnya menipu karena matahari yang cukup terik itu pasti membuat kulit tambah eksotik.

Masjid Ruteng

Masjid Ruteng

Di Masjid Ruteng itu, cuma aku satu-satunya jamaah yang perempuan. Sholat di lantai dua sendirian. Tapi suka. Suasananya tenang. Pengen deh bobok disini, kayaknya itu hamparan sajadah dah mirip kasur aja nyamannya. Tapi…Ka Ros bisa jadi landak kelamaan nunggu aku didepan masjid. Jadi ya…skip dulu bobok siangnya ya. Kembali melipat mukena dan cabut. Kami masih keliling kota Ruteng, nyari pulsa. Ka Ros kehabisan paket data kayaknya. Keliling Ruteng ini mengingatkan kami akan Kota Batu di Malang. Sama-sama mini dan agak dingin. Kontur tata kotanya khas daerah pegunungan. Jalanan naik turun. Tidak ramai sih tapi lumayan hidup.

Dan sbelum balik ke agen travel, aku mengusulkan untuk sekalian cari makan siang. What? Makan lagi?

Ya iyalah..tadi itu kan hitungannya sarapan. Nah ini, dah lewat dhuhur, ya makan siang dong. Ka Ros mengusulkan beli nasi padang, dibungkus buat bekal saja. Makan di otto. Terserah sih…kalo aku sih mau makan ditempat. Haaaa, dia ngikut juga akhirnya makan di warung Padang deket perempatan itu.

Sudah jam satu lewat ketika kami kembali ke agen Gunung Mas. Dan mobil travel yang akan membawa kami ke Ende sudah siap. Tapi kami masih harus menunggu karena itu mobil masih keliling kota dulu menjemput penumpang.

Tiba-tiba ada SMS masuk.

“Ada apa Mba Arum?”.

Ivan.

“Aku ada di Ruteng,” jawabku kalem, masih setengah gondhok karena dia tidak bisa dihubungi. Sebentar kemudian hape bunyi, betul saja. Si Ivan.
“Apa Van?”. Dan seperti kami duga, dia minta maaf karena ketiduran, hape mati kehabisan baterei, gak ada yang bangunin, dia lagi nginap di Borong. Haah, daerah mana lagi itu? Trus dia tanya kami ada dimana?

Kubilang kami ada di agen Travel Gunung Mas, menunggu keberangkatan ke Ende bentar lagi.

“Nginap dulu di Ruteng. Batalin saja itu travel,” pintanya. Gimana mau batalin, kami dah bayar. Dan kami ogah menukarnya dengan janji Ivan yang seperti biasa, belum tentu terealisasi. Bukti nyata kan tadi pagi itu. Awal, dia masih terima waktu kami bilang gak bisa nginap, kami sudah terlanjur bilang ke Tari (di Ende), kami akan datang hari ini. Ivan bilang, nanti akan susul kami ke Ende. Mo anter kami ke Kelimutu. Gombal banget deh ngomongnya. Aku cuma bilang, “See you there, Van…” meski hati yakin 150% dia gak bakal datang.

Dunia tenang sejenak. Sejenak betul. Kemudian itu hape bunyi lagi. Ivan lagi. Kali ini bilang, kami disuruh batalin tiket dan dia akan ke Ruteng sekarang juga. Jemput kami. Hah? Apa-apan nih orang.

“Ini Mama yang minta kalian singgah!” ngotot dia. Aku dan Ka Ros cuma berdoa…jangan sampai Mamanya yang nelpon kami. Kami pasti tidak akan mampu nolak. Kembali aku ngotot, tidak bisa. Kami sudah akan dijemput travel. “Sampaikan terima kasih dan salam kami ke Mama saja,” begitu ku bilang dan kumatikan telpon. Sesama penumpang yang nunggu disitu dah mulai ngeliat ke kami.

Telpon berbunyi lagi. Ivan lagi muncul dilayar. Kembali kuangkat.

“Coba tanya, ada seat sisa tidak ke Ende?”

Hai! Mau ngapain?

“Biar saya ikut kalian ke Ende saja…”. Gak tahu dia serius apa tidak, tapi aku tanya saja e petugas travel yang dijawab, seat sudah penuh. Ivan ngegerundel gak jelas. Emang gue pikirin. “Ya sudah…kalian aku tunggu di lampu merah Borong ya, nanti turun disitu. Mampir rumah dulu.”

Aduuuuuuuuuuuuuuuh, ni orang gak tahu deh musti dikasih tahu dengan cara apa. Aku tetep bilang, No.

Kembali telpon bunyi. Iiiiiiih, pengen deh aku lempar saja itu hape ke muka si Ivan kalo dia ada. Aku gak mau angkat, ku kasih ke Ka Ros dengan pesanan, jangan sampai kebujuk tipu-tipu Ivan yang maksa kami kembali mengubah itinerary. Ka Ros juga tetep bilang kami tidak bisa lagi ubah jadwal. Tiket sudah ditangan dan sebentar lagi berangkat. Eh, marah dia. Ivan bilang, kami punya sifat buruk yang tidak berubah. Sifat buruk? Kami?! Bukannya yang punya sifat buruk itu dia? Ingkar janji. Gak bisa dihubungi. Suka maksa orang.

Tidak mempan dengan paksaan, dia membujuk kami bahwa kami harus melihat kotanya yang indah. Katanya, kalau kami batalin tiket, besok kami akan diantar keliling Ruteng, melihat tempat-tempat indah yang tidak akan kami lupa. Dan siapa yang mau percaya dia saat ini? Tidak ada referensi tempat indah di Ruteng dari apa yang sudah kami baca. Ngibul gak kira-kira.

Gak tahu deh itu telpon bunyi dan diangkat untuk yang ke berapa kali. Dan aku mulai jengkel karena diliatin ma banyak orang. Tiba-tiba petugas travel tanya ke aku, yang butuh seat ke ende jadi apa tidak? Ada satu penumpang yang batalin seatnya. Ku minta Ka ros menghubungi Ivan. Ivan bilang jadi ambil seat dan ikut kami ke Ende. Kami masih belum paham, apa maunya dia ikut kami ke Ende. Paling itu karena dia merasa bersalah saja karena gak angkat telpon tadi pagi.

Trus dia akan nunggu di Borong, yang kata petugas travel…sekitar dua jam dari Ruteng.

Hah…

Akhirnya setelah kami menunggu seribu tahun (karena gak ngapa-ngapain disana), itu travel jemput kami juga. Perkiraan, kami sampai Ende jam sembilan malam.

Jalan dari Ruteng ke Ende ini bener-bener sesuatu. Di awal saja, yang namanya kelokan itu bisa seratus delapan puluh derajad. Naik gunung…turun lagi…naik lagi. Yakin deh, kalo Naomi atau Ririh ikut pasti KO…hm, kira-kira habis berapa anti** ya buat bertahan?
Aku juga sempet merasakan mual. Hadewww. Gak lucu banget kalo sampe muntah. Kupaksa badan buat duduk tegak, dan melihat keluar. Lumayan…mual hilang. Gak tahu kenapa, suka panik saja kalo gak bisa liat apa pun. Ujung-ujungnya mual. He,he…

Menjelang sampai Borong, sopir Travel nyuruh kami menelpon Ivan. Ivan santai jawab, katanya dia sudah di lampu merah.

“Dia nunggu di lampu merah, Pak,” jawabku ke sopir.

Bener saja…sosok menyebalkan itu berdiri dipinggir jalan sambil senyum-senyum, gak jelas. Ka Ros sudah gemes. “Kita hancurkan dia di dalam otto, Rum,” bisik Ka Ros bersemangat. Balas dendam yang manis.

“E…kenapa orang gila itu ada disini?” Penumpang laki-laki yang duduk didepan kami tiba-tiba nyeletuk waktu mobil berhenti di depan Ivan. Kami bengong. Siapa orang gila?

Tertuduh #Iphank

Tertuduh #Iphank

#JourneytoTheEast
#CeritadariTimur

#Edisiterlantar

Journey to The East: Mengunjungi Negeri Dongeng

Haloooooooooo….

Nih dia cerita yang dah ditunggu-tunggu (geer pangkat sepuluh). Kali ini ceritaku agak panjang dan berliku…jadi mending ambil cemilan dulu ma minuman anget yeee. Buruan tapi…jangan lama-lama. Baik juga ambilin buatku sekalian. #timpuksandal.

Ok…here we go.

….

Hari selasa, kami check out pagi-pagi karena dah janjian ama sopir bus gemini untuk dijemput jam 6 pagi di depan gang Bajo view. Kenapa pagi-pagi? Supaya sampai pertigaan pela masih dibawah jam 11 siang untuk dapat otto ke Denge, desa terakhir sebelum Waerebo. Perhitungan kami, dengan berangkat jam enam pagi, kami akan sampai Pela sekitar jam sembilan atau sembilan lebih lah.
Kami dijemput di depan gang Bajo view jam enam kurang seperempat. Sehari sebelumnya kami dah telpon bapak sopir, pesen tempat. Keren kan…bis bisa dipesan dan ngejemput penumpang, lebih awal pula. Hah..pasti kami tidak akan terlambat sampai Pela. #gembirayangterlaludini
Rupanya itu bus masih berputar-putar di Labuan Bajo, menjemput penumpang satu-satu…kemudian berhenti dulu di depan penjual makanan. Kernet turun karena ternyata ada penumpang minta beli nasi bungkus dan minta tolong itu kernet bus. Dan kami pun ikut-ikutan beli. Ei…maklum, kami juga belum sarapan. Jadi kami sarapan dalam bus yang melaju ke arah Ruteng-Bajawa. Sepanjang perjalanan, bus sering berhenti. Ada aja penumpang yang meraa ingin beli oleh-oleh sepanjang jalan.

Ada penjual durian di pinggir jalan, seorang ibu teriak mau beli durian. Bapak sopir menghentikan bus trus nanya, “Berapa jual itu durian?”

“40 ribu!” jawab penjualnya.

“Aih…mahal ko. Tawar 25 sudah.” kata si Ibu.

“Dua lima boleh?” tawar sopir bus.

“Naik sedikit kah…belum dapat segitu.”

“Ahh…tidak jadi, Om.”
Bus kembali melaju. Beberapa kilometer kemudian ada lagi penjual durian. SI Ibu masih ingin beli.

“Berapa satu itu durian?” tanya sopir.

“30 ribu!”

“Dua lima boleh?”

“Beli berapa bapa?”

“Dua,” bisik si Ibu disamping sopir.

“Dua!” teriak sopir. Penjual itu menurunkan duriannya, menyeberang jalan, menyerahkan durian ke sopir dan menerima uang. Bus pun berjalan kembali. Aku dan Ka Ros saling pandang. Dan pikiran kami sama. Untung Nana ma Bingar gak ikut. Bisa muntah mereka naik bis dan mencium bau durian. He,he…

Narsis dalam bis Labuan Bajo - Pela

Narsis dalam bis Labuan Bajo – Pela

Bukan hanya karena membeli sesuatu bis sering berhenti. Terkadang bis tiba-tiba saja berhenti. Trus sopir turun. Penasaran kami nengok ke Belakang. Ternyata mereka duduk-duduk, merokok sambil ngobrol dipinggir jalan. Santeeeeeeee banget. Tuhan…kapan sampai Pela caranya begini.

Dan betul saja…setelah berhenti puluhan kali…dua kali pake adegan mogok dan perlu didorong itu bis (ngenes banget), kami akhirnya nyampai pertigaan Pela jam 10 lewat dikit. Begitu kami turun…kami langsung diserbu ojek. “Waerebo…waerebo?!”, tanya mereka. Kami hanya mengangguk. Mereka lalu berebut menawarkan ojek sampai Denge…desa terakhir sebelum Waerebo. Tapi kami tidak mau naik ojek…kami mau naik Otto kayu.

“Otto sudah lewat!”. Haaah…masa sih? Bukannya mereka turun ke Denge jam 11 atau 12 siang? “Sudah tidak ada Otto lewat Kakak…naik motor su!”.

Kami tidak percaya. Nih semua ojek sepertinya punya tampang tipu-tipu kecil. Aku menyeberang..menuju satu toko yang agak besar yang ada disitu. Beli minuman dan sekalian tanya masih ada otto ke Denge apa tidak? Ibu itu mengangguk curi-curi sambil melirik ke arah ojek…trus berbisik, “Otto turun lebih pagi hari ini. Tapi nanti masih ada lagi.”
Hmmm…untung!
Kami pun ndhoprok di teras toko itu..nungguin otto. Ngobrol sama mama-mama penjual jeruk dan keripik pisang. Tapi sampai siang…itu otto jurusan Denge tidak juga muncul. Yang beberapa kali lewat jurusan ke Narang. Narang ke Denge masih jauh pake banget. Si ibu pemilik toko bantu nanyain ke semua otto yang lewat soal otto ke Denge. Rupanya hari itu, otto dari Denge hanya jalan satu. Dan kami sudah ketinggalan. Huaaaaaaa…piye iki?

Kami menunggu sampai sekitar jam dua, habis beberapa plastik keripik pisang. Lewat di depan kami, bus kecil 1/4 warna merah jurusan Narang. Mereka diminta si Ibu pemilik toko antar kami sampai Denge. Awalnya mereka tidak bersedia. Tapi kemudian ada diskusi antara kernet dan sopir. Trus bilang, “50 ribu ya…biar kami antar sampai Denge.”

Normalnya…kalau naik otto cuma 25 ribu. Tapi berhubung kata si Ibu…mungkin otto lain tidak turun, jadi lebih baik kami ambil saja tawaran itu bus. Oke lah. Tak apa. Yang penting sampai Denge.

Didalam bis…kami duduk dibangku paling belakang. Suara musiknya kenceng banget, pas di kuping lagi. #Inimemangderitague.

Ada seorang ibu…yang ngaku katanya dulu orang Waerebo. Dia banyak sekali bicara dan bertanya, mengajak kami ngobrol meski kadang kami sendiri bingung dengan pertanyaannya.

“Dari mana?”
“Dari SUrabaya, Mama?”

“Kapan datang?”

“Sudah hari sabtu kemaren.”
“Ada perlu apa di Waerebo?”
“Berkunjung saja…”

“Jadi berangkat dari Makasar jam berapa?”

Makasar????!

….

Jalan ke waerebo ini sempit, rusak, naik turun dan belok-belok. Kalo ada 2 kendaraan berpapasan…salah satu harus berhenti dulu. Untung kondisi itu bisa dihitung jari. Kami seperti dibanting-banting didalam bis. Rupanya kernet bus itu paham pikiran kami. “Jalan rusak,” katanya. “Ini masih untung naik bus. Coba naik otto kayu, bisa kurus pantat.”

Hmmm…istilah baru.

Kurus pantat. #Cobakalianbayangkansebentar.

Penumpang mulai turun satu-satu. Tinggal kami berdua. Ditengah jalan…rupanya ada ketidaksepakatan antar sopir dan kernet. Sopir rupanya tidak mau mengantar kami sampai Denge. Si Kernet bersikukuh tetap antar karena tadi sudah janji. Semua penumpang yang masih tersisa sepertinya juga protes pada si sopir. Sayangnya kami tidak bisa menangkap isi percakapan mereka karena bicara dalam bahasa lokal. #Pusing.

Kami mau diturunkan di Narang. Trus diminta naik ojek saja. Kami tidak mau, karena Narang dengan Denge itu masih jauh. Dan belum tentu itu ojek mau kami bayar 50 ribu. Trus mereka bilang kalau tidak mau diturunkan di naranng, mereka mau turunkan kami di desa apa..kami tidak ingat namanya. Karena nama yang mereka sebutkan tidak pernah kami baca di internet, di blog-blog yang menjadi referensi kami, kami akhirnya nego…

“Kalau tidak mau menurunkan kami di Denge, tolong turunkan kami di Dintor,” kata kami. Dintor adalah nama lain selain Denge yang pernah kami baca. Setidaknya kami ada referensi bisa naik ojek ke Dintor dan berapa kami harus bayar ojek. Daripada diturunkan ditengah hutan begini? Hiiiii…ngeri.

Kami diturunkan di Dintor sudah jam lima sore. Sepi. Untung ada ojek dua di pertigaan kecil itu yang mau antar kami ke Denge. Sebenarnya Dintor ke Denge sudah tidak terlalu jauh. Sekitar lima belas menit kami sudah sampai di rumah Pak Blasius dan disambut orangnya langsung di halaman rumah. Leganya.

Begitu masuk rumah…kami mendapat suguhan kopi Waerebo. Hmmmmmmmm…mata kami langsung melek dan segar kembali. Kami langsung cerita-cerita dengan teman-teman baru di situ. Ada dua gadis manis dari Jakarta yang baru turun dari Waerebo, ada pastor Martin dan Pak Guru Steve. Pastor MArtin dan Pak Guru Steve akan menjadi teman satu rombongan kami naek besok pagi jam 5. Keluarga Pak Blasius ‘membunuh’ ayam untuk makan malam kami. Yang menjadi algojo, teman baru kami dari Jakarta. He,he…Terima kasih sudah ‘mengingat’ kami yang muslim, Pak.

Kanan-Kiri: Pak Blasius, Pak Conrad, Ros, aku, dua temen baru dari Jakarta

Kanan-Kiri: Pak Blasius, Pak Conrad, Ros, aku, dua temen baru dari Jakarta


Selesai santap malam, kami bercerita dan bercanda sampai jadwal lampu padam aka jam sepuluh malam. Yups…listrik disini didapat dari panel-panel surya dan generator pribadi. Jadi musti hemat. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan dalam gelap..kami masuk kamar masing-masing. Sebagai pengantar tidur, Ka Ros mendongengiku tentang sejarah Waerebo yang baru dia baca dari buku tentang Waerebo di meja tamu Pak Blasius. Dan gayanya sudah seperti ahli sejarah saja. Tapi terus terang…aku cuma percaya 50%. Dia suka alay soalnya kalo cerita. Tidak jelas mana sejarah…mana khayalan. Seandainya ada bola kapas, mungkin sudah aku sumpal ke telinga. Hmmmmm

Night…night…

05.00 WITA

Kami berdua sudah siap di meja makan. Istri Pak Blasius menyediakan sarapan nasi goreng untuk kami. Dan ternyata, kami ketambahan anggota rombongan. Namanya Henry, mengaku dari Solo. Hm…jadi pagi ini kami akan naik ber lima ditemani Pak Conrad, adiknya Pak Blasius. Dan kami masih harus menunggu Pastor MArtin yang lagi mandi pagi. O la la…rajin banget pake mandi. Bentar lagi juga keringatan. Mungkin itu bedanya pendosa ama orang suci, bisikku ke Ka Ros. He,he..

Akhirnya jam setengah enam, kami memulai trekking ke Waerebo. Sinar bulan masih menyinari kami melewati tanjakan berbatu yang langsung gigi satu, alias nanjak gak ada putusnya. Ahaaaaaai. Pastor Martin ma Pak Guru Steve jalan sudah kayak kereta cepat buatan jepang aja. Beberapa saat, mereka dah membuat jarak yang jauh dengan kami. Kami tidak mau mati konyol kehabisan nafas dengan mengejar mereka, jadi kami menikmati irama kaki sendiri. Itu pun aku baru sadar, setelah jalan beberapa ratus meter..kok bayangan yang tadinya empat tinggal tiga biji. Noleh ke belakang, itu temen baru, Si Henry udah ngedomprok di pinggir jalan sambil ngos-ngosan. Alamaaaaaaaaaaak. Baiklah…karena kami ini baik hati sekali (ngucapinnya ditekankan banget), jadi kami tunggulah anak culun ini. Semenit…dua menit. Ok, dia bangkit lagi. Kami ajalah ngobrol-ngobrol…supaya gak terasa capek maksudnya.

“Hen..Asli Solo memang?”
“Papua-Solo sih.” Ooo

“Kuliah apa dah kerja?”

“Kerja.”

“Kerja dimana?”

“Timika.”

Hmmm, “Freeport?”

“Iya…”

“Haaaaaah…kau pasti bukan orang lapangan?” tebak Ka Ros.

“He,he…aku dikantornya!” Hah, menjawab sudah ama daya tahan jalan kaki-nya dia. Memprihatinkan pake banget. Dan..tadaaaaaaaaaa…dia berhenti lagi. Dan ini belum 50 meter lho. Ya ampuuuuuuuuuun. Bener-bener deh. Ok…kita masih baik hati. Ditungguin dong sambil selfie-selfie pake tongsis baru. Pas nafas Henry dah normal lagi…kami lanjut jalan. Jalanan masih berupa batu-batu kali yang ditata, tapi belum ditutup pasir…jadi lumayan sakit dikaki sih meski pake sendal.

Awal Perjalanan #Menuju Waerebo

Awal Perjalanan #Menuju Waerebo

Kami baru jalan 40 meter-an ketika Henry sudah hilang agi dari radar. Ternyata dia muntah sodara. OMG. Betul-betul muntah, mengeluarkan seluruh sarapan paginya. Wajahnya putih..pucat. Waduh…gawat nih kalo sampe pingsan. Gimana dia gak muntah…dia minum kami lihat sudah kayak unta saja. Dua botol yang dia bawa sudah habis.

“Jangan banyak-banyak minumnya Henry! Perutmu sakit nanti!” teriak Ka Ros.
“Gak pa pa kok…kalian duluan aja,” jawabnya sok banget. Kayak yang kami ini setega itu. Santai saja Bro…kami tungguin kok. Pantang bagi kami ninggalin temen di jalan (tapi kami juga ogah kalo disuruh balik kucing ke Denge).
“Pak…kira-kira, kalo jalannya seperti Henry ini, jam berapa ya kita sampai Waerebo?” tanya Ka Ros sambil bisik-bisik ke Pak Conrad, si Pemandu.

“Waaaaaaah…saya juga tidak bisa memperkirakan kalau begini,” jawab Pak Conrad sambil menggeleng prihatin.
“Ada gak, selama bapak jadi pemandu nih…orang lain yang jalannya selambat Henry?”

“Tidak ada…dia ini yang paling lambat.”

Untungah sebelum Henry putus asa dan memutuskan balik pulang, dan setelah melalui serangkaian istirahat setiap limabelas meter karena nunggu Henry, kami sampai juga di jalanan mendatar dan bahkan menurun. Turunan ini berakhir di sebuah sungai dan jembatan, dan ini merupakan akhir dari jalan berbatu. Diseberang jembatan kecil itu, ada pos 1. Horeeeeeeeee…nyampe juga di pos satu setelah henry menciptakan banyak pos bayangan antara rumah Pak Blasius dan Pos ini. Apalagi Pak Conrad bilang, yang susah memang jalan berbatu ini. Setelahnya nanti jalan tanah, lebih enak jalannya.
Bagaimana Henry? Lebih enak lho jalannya…

Di Pos satu kami beristirahat sebentar. Minum….foto…Pak Conrad bahkan merokok. Merasa cukup mengumpulkan tenaga, kami jalan lagi. Pak Conrad mempersilahkan kami jalan duluan, dengan pesanan jalan lurus saja tidak usah menyimpang. Ok deh Pak.

Pos satu

Pos satu

Jalan setelah pos dua ini berupa jalan setapak…dan meski semalam tidak hujan, karena cahaya matahari tidak menyentuh tanah karena rimbunnya pepohonan, suasana jalan agak lembab dan jadi agak licin. Ada beberapa pacet terlihat dijalan…tapi tidak sampai mengganggu. Padahal Ka Ros dah siap karet tali buat ngikat bawah celana biat Pacet gak sampe masuk. Dan yang dibilang enak jalannya ama Pak Conrad itu…gak tau deh, definisi enak itu seperti apa. Tapi ini jelas tidak ada enak-enaknya sama sekali. Jalan sempit (emang gak ada sih jalan lebar di gunung), licin, dan nanjak. No bonus. Setiap dari kami kalo lihat tikungan, bergegas pengen sampai di ujung. Bukan apa-apa…kami semangat banget ngintip, apakah ada jalan mendatar atau syukur-syukur menurun setelah tikungan. Tapi harapan hanya tinggal harapan. Jawabannya masih…naik…naik…dan naik. Dan sepertinya, kali ini..kami semua sepakat untuk menciptakan banyak sekali pos bayangan. Bahkan setiap seratus meter kami istirahat. Kami tahu persis itu seratus meter karena orang-orang lokal membuat patok-patok yang menyatakan masih berapa jauh kami dari Waerebo. Dan yang membuat kami ilfil adalah..tuh angka terteranya masih ribuan. Yang artinya jarak yang harus kami tempus masih hitungan 4 kilometer-an. Pengen deh aku tendang saja tuh patok menyebalkan. #Ops!
Ditengah-tengah pemberhentian yang tidak tahu lagi ke berapa…ada timbul harapan baru. Pak Conrad menunjuk ke atas…ke titik batu putih di kejauhan.

“Itu…yang putih kelihatan dari sini itu pos dua.”
Haaaaah…Pos dua. Bentar lagi nyampe dong. Dari Denge ke Waerebo itu ada tiga pos resmi (pos bayangan yang kami buat tadi gak sah dihitung ya prend). Nah itu pos dua, kalo kami sudah bisa melihatnya…artinya itu pos sudah gak jauh lagi kan? Jadi…hayoooo, cepetan.
Kami kembali bersemangat mengayunkan kaki. Apa daya…antara kemauan dan tenaga bener-bener tidak ada kata sepakat. Kami tetap saja berhenti setiap seratus meter. Dan yang lebih parah, kali ini kami dilarang berpegangan ama tanaman di pinggir jalan. Karena kata Pak Conrat, didaerah situ ada tumbuh banyak tanaman yang menyebabkan gatal. Nama tanamannya, Lanteng. Jadi kalau sampai kita terkena daun lanteng ini, siap-siap saja gatal selama enam bulan. Gatal yang menetap. Dan saking gatalnya, kita akan terus menggaruk daerah itu sampai terluka. Ih…amit-amit. Bener banget kalo Pastor Martin tadi mengingatkan kami buat bawa tongkat. Alih-alih tongkat kayu, kami bawa tongkat narsis malah. #Gayatidakpadatempatnya.

Dan dimanakah batu putih itu? Kenapa kami tidak nyampe-nyampe juga? Udah beratus-ratus meter kami jalan, tapi batu putih itu seperti menghilang. Jangan-jangan itu batu putih dah pindah tempat saking jengkelnya ungguin kami yang gak datang-datang, gerutu kami diantara istirahat untuk kali yang gak keitung.

“Itu…dua puluh meter lagi. Di kelokan itu…dikit lagi dah pos dua,” jawab Pak Conrad sambil tersenyum, nunjuk sebuah kelokan diujung jalan. Buset dah…itu mah bukan 20 meter kali ya. Lebih. Baiklah Pak…mari kita hajar itu dua puluh meter versi bapak.

Satu dua…satu dua…satu dua….

Setelah kami melet-melet mencoba melewati itu tanjakan, akhirnya batu putih kelihatan. Aaaaaaaaaaaaak…nyampe juga di pos 2!!!! Selamat…selamat!!! Kami hebat!!! #jogetlandak.
Pos dua ini cuma sebuah tikungan yang tepinya diberi pagar beton. Kenapa? Karena menurut Pak Conrad, dulu banyak bule-bule yang nongkrong sambil ongkang-ongkang kaki di tepi jurang ini. Masyarakat setempat ngeri melihat kelakukan mereka maka dibangunlah pembatas ini. Hm…baik hati ya mereka ni. Dan kejutan muncul di pos dua ini. Iya, kami menemukan Pastor Martin dan Pak Guru Steve menunggu kami disitu Aduh Pastor..kami pikir Pastor Martin ama Pak Guru Steve udah main tali di kampung Waerebo. He,he..
“Kalian ini bagaimana? Kami sudah kehabisan cerita, sudah selesai membuat puisi..kalian tidak muncul juga,” ledek Pastor Martin. Ha,ha…maaf Pastor, kami terlambat. Siksa saja Henry…dia biang keroknya.

Bentar ;agi pos dua yaaaaaaaaaaaa... #Mana?

Bentar ;agi pos dua yaaaaaaaaaaaa… #Mana?

Pastor ma Pak Guru memberikan kami istirahat sekitar lima belas menit sebelum akhirnya kembali mengangkat ransel dan mengajak kami kembali jalan. Merasa tenaga sudah sedikit pulih, nafas sudah teratur dan halus kembali, dengan riang kami pun beranjak. Jangan kalian tanyakan itu Pastor Martin ma Pak Guru STeve…mereka kembali sudah hilang di kelokan jalan. Hadewwwwwwww, cepet nian mereka ni. Tapi kami memang akui…secepat apapun kami berupaya melangkah, tak akan bisa mengejar kecepatan mereka. Jadi daripada kecewa…mari kita kembali menikmati irama kaki sendiri. #Upaya menghibur diri.

Beberapa ratus meter melangkah…sayup dikejauhan terdengar teriakan riang. Selintas mirip suara burung. Pak Conrad tak kalah riang menyahut dengan suara-suara seperti burung juga. Kami pikir itu suara para pemandu, dengan kode-kode atau sandi-sandi tertentu. Bahasa mereka.

“Ada tamu lagi yang naik, Pak?” tanyaku.

“O..itu suara anak saya yang kecil. Si Andrianus. Dia nyusul sama mamanya dari Kombo pagi tadi…,” jawab Pak Conrad santai.

“Umur berapa, Pak?”

“Empat tahun?”

Glodak!!! Empat tahun?!!!

“Digendong mamanya, maksudnya pak?”

“Jalan sendiri…”

Sampai disini saya tidak tega bertanya lagi. Tidak tega menhancurkan harga diri sendiri karena langkah kami kalah dengan si kecil Andrianus. Dan kami semakin bergegas melangkah. Bertekad tidak mau didahului si kecil itu. Malu-ku ditaruh mana???
Tapi itu tanjakan kenapa tidak kelihatan tanda-tanda mencapai akhir ya? Kata Pak Conrad, selepas pos tiga…jalan akan mendatar. Bahkan kemudian menurun sampai ke Waerebo. Mana pos 3? Mana? Masih jauhkan engkau pos 3? Kurang 1000 meter? Seribu meter itu satu kilo kan? Perasaan sekilo itu sih gak jauh (bayangin pake motor), dan gak bikin capek (bayangin pake ojek).

Dan suara-suara si Andrianus kok makin jelas aja nih. Padahal kami gak berhenti jalan lho…(berhenti kalo sebentar gak diitung kan?). O o…meski gagal dengkul, nafas udah gak jelas lagi iramanya..kami terus melangkah, pelan. Air botolku yang pertama dah habis…tapi tadi sebelum pos dua, dah diisi air gunung yang mengair dari celah-celah batu. Si Henry…dah gak keitung deh itu botol ke berapa? Ka Ros…bahkan ngutang air ma aku.

Akhirnya….pos tiga pun kelihatan. Dan kami merasa jadi juara. #Hueeeeeeek

Seperti yang lain-lain…pos tiga ini pun hanya belokan jalan. Sisi kiri tebing, sisi kanan jurang…yang kalau kita melihat ke sisi kanan, jauh…sejauh mata memandang, yang terlihat adalah hijaunya hutan, lembah dan punggung-punggung gunung. Kabut menutup sebagian besar puncak-puncaknya.

Disini lah akhirnya kami harus menyerah…Si Andrianus macam kancil saja berjalan melewati kami. Bercanda sebentar dengan ayahnya…trus lempeng aja jalan sambil bawa kresek hitam yang katanya berisi semua biscuit kesukaannya yang dibeli di Kombo. Mamanya ikut jalan dibelakangya. He,he…kayaknya Henry yang paling ‘tertampar’. Secara dia badan gedhe…bawaan cuma botol minum doang…eits, aku belum cerita kan kalo tas nya yang segedhe gaban itu dibawain ma Pak Conrad? Iya..jadi dia sebenarnya cuman lengang kangkung doang.
#BenerbenerprihatinliatHenry.

Kami tidak berhenti lama di Pos tiga karena si Andrianus manggil-manggil kami. “Ayo…ayo…!” katanya riang sambil berlompatan diantara batang-batang kayu yang melintang menghalangi jalan. Gemes dengan diri sendiri…kami maksain buat jalan. Dan alhamdulillah, jalurnya semakin manusiawi disini…meski ada sedikit nanjak…tetapi kebanyakan sudah mendatar. Dan bahkan beberapa menurun….terus menurun. Nah ini berarti sudah mulai dekat dengan kampung Waerebo. Kulihat itu patok sudah nunjukin 700 meter. Yaaaiiii…gak sampe sekilo lagi, Rek. Kami berpapasan dengan beberapa orang yang baru turun dari Waerebo…rupanya mereka menginap disana. Selalu mereka kasih semangat, “Ayo…dikit lagi.” Bahkan ada yang bilang begitu sambil kasih tanda jarak sesenti antara jempol dan jari telunjuknya. Menggemaskan.
Jalanan terus menurun…membuat Henry bahagia banget. Ho,ho…jalanan menurun itu artinya nanjak pada saat kami pulang. Huaaaaaaaaa…bikin mangkel bayanginnya, mending gak sah dipikirin.

Kami mikir Waerebo saja…apalagi rumah panggung mirip gazebo yang kami tunggu-tunggu dah ada didepan mata. Inilah spot terakhir kami diijinkan mengambil gambar. Setelah melewati gazebo ini, kamera musti masuk ke tas, tidak boleh motret apapun sampai dengan upacara adat penerimaan tamu dilakukan.

Pak Conrad membunyikan kentongan yang ada disitu, untuk memberitahu ke warga Waerebo kalau ada tamu yang datang berkunjung. He,he…seperti kembali ke masa kerajaan. Kami memanfaatkan mengambil foto desa itu dari titik ini. Masih boleh kan? Dan kami baru tahu isi tas Si Henry. Segala macam kamera ada. Mulai DSLR, underwater, smartphone, tablet, tongsis….Rempong kan? Sekarang ngapain coba ke Waerebo bawa kamera underwater? Mau nyelem dikali? #Gagalpaham.

Kaki kami yang gatal untuk segera masuk kampung mencegah kami untuk lama-lama istirahat. Bergegas kami berlompatan turun dari gazebo dan turun melintasi kebun kopi menuju perkampungan. Ada semacam pintu masuk terbuat dari bambu sebagai gapura. Trus halaman rumput yang luas…ditengahnya ada altar pemujaan dari batu yang bentuknya melingkar. Disekelilingnya, di pinggir halaman rumput yang luas itu…berdiri kokoh 7 buah Mboru Niang. Seperti kastil-kastil yang ada dipuncak gunung dalam film disney…Waerebo dengan Mboru Ninang yang ada di antara gunung-gunung ini menciptakan dongengnya sendiri. And it’s sooooooooooooooo beautiful.

Kami diajak Pak Conrad menemui ketua adat dulu…namanya Pak Alex. Pak Alex ini menyambut kami dengan ramah…mengucapkan lantunan doa dalam bahasa lokal dengan maksud supaya kami diterima oleh para leluhur mereka, dianggap saudara dan tidak diganggu.

Waerebo #Negeri Dongeng

Waerebo
#Negeri Dongeng

Ya…dalam adat masyarakat Waerebo, mereka percaya dengan keberadaan para leluhur. Bahwa para leluhur selalu bersama mereka, menjaga mereka. Mboru niang itu boleh saja dalam kasat mata jumlahnya tujuh. Tapi menurut Pak Blasius, dalam masyarakat Waerebo, Mboru niang itu ada delapan. Jadi kalo ditarik garis imaginer dari batu altar di tengah lapangan ke ketujuh mboru niang, ada bentuk seperti jaring laba-laba. Dan di penjuru mata angin yang ke delapan itu kosong, tidak ada bangunan fisik Mboru Niang. Tetapi kata Pak Blasius…dalam kepercayaan masyarakat Waerebo, bangunan Mboru Niang ke delapan itu ada. Dan itu tempati oleh para leluhur. Makanya kenapa mereka tidak berupaya membangun satu lagi mboru Niang untuk menggenapi karena sebenernya mereka mengganggap yang ke delapan itu ada, hanya tidak terlihat mata.

Selesai upacara penyambutan…kami keluar dari rumah besar, diajak ke rumah penginapan. Bentuknya sama…hanya saja rumah penginapan ini diperuntukkan untuk menerima tamu atau untuk tidur para tamu kalau menginap. Ada lima tingkat dalam Mboru niang. Tingkat teratas (kelima) untuk sesembahan bagi leluhur dan tingkat paling dasar untuk kegiatan sehari-hari. Setiap tingkat ada fungsi dan namanya masing-masing…dan kami tidak ingat namanya. #Susahdiucapinpakelidahjawa. Disini kami bertemu dengan Pastor Martin dan Pak Guru Steve yang sudah dijamu makan siang. Walaaaaaaaah…enaknyo.

Di rumah penginapan ini kami disuguhi pisang dan kopi Waerebo yang….hmmmmmmmm, nikmat banget. Warga Waerebo ini kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani kopi. Kami melihat banyak kopi dijemur di halaman rumah. Ada jenis arabica, robusta dan columbia. Dan kalian kalau kesana harus mencobanya seperti kami. Nagih banget rasanya.

Pak conrad bilang kami boleh keliling-keliling dilingkungan perkampungan Waerebo…boleh ambil gambar asal tidak menginjak altar sembahan ditengah lapangan karena itu disakralkan. Ok…lets messing around!

Gak ada judul

Gak ada judul

Kami bertiga, yang dah merasa segar terdopping kopi waerebo, langsung hunting foto mulai dari halaman sampai dapur. Ngobrol ma orang-orang disana, mulai nenek-nenek ampe anak-anak. Anak-anak ini dibawah usia sekolah semua. Karena begitu mereka masuk usia sekolah, mereka akan turun ke Denge atau Kombo untuk sekolah. Dan anak-anak ini rame sekali. Penuh rasa ingin tahu. Pengen ikut jepretin kamera. Dan aku sukses membuat anak-anak berantem gara-gara rebutan kamera. Bahkan satu anak sampai nangis karena berantemnya pake baku pukul. Aduuuuuuuuuh! Stoooooop! Ada yang mau permen?!, teriakku mengalihkan perhatian. Dan semuanya angkat tangan. Aku lari masuk penginapan, mengambil permen dari tasku. Dan begitu keluar lagi…O Tuhan, kenapa sekarang anak-anak itu jadi banyak ya. Takut gak cukup, coba kuintip kotak permenku…masih banyak. Ok, satu-satu aja.

Dan anak-anak itu aku tidak pernah hafal mana yang kuberi, mana yang belum. Tanga- tangan yang menengadah itu serasa terus ada sambil bilang, “Saya belum..”. Aduuuuhh, masa iya sih sebanyak itu anak-anak ini.

“Saya belum…”

“Coba buka mulut,” pintaku sebelum memberi permen. Dan banyak dari mereka ini yang udah ada permen dilidahnya. Dasaaaaaaaaaaaaaar!!!

Anak-anak Waerebo

Anak-anak Waerebo

..

Kelar bermain ma anak-anak disana, kami ganti mengganggu ibu-ibu mereka yang lagi menumbuk kopi. Mama-mama itu mengolah kopi mereka secara tradisional. Ka Ros bahkan bergaya…bantuin numbuk pake alu ama lesung itu. Dan itu biji kopi sukses berhamburan kemana-mana. Week, dijamin rasanya nanti gak karu-karuan kena tangan Ros Ginting. Apa sih yang enak ditangan dia selain rendang dan teri kacang? #sambilmelet

Nyoba jadi petani Kopi? #Gagaltotal

Nyoba jadi petani Kopi? #Gagaltotal


Tengah-tengah kami asyik ngerecokin Mama-mama numbuk kopi, pak Conrad manggil kami ke rumah penginapan untuk makan siang. Kebetulan, Pak…kami lapar pake banget. Semua energi sarapan tadi pagi habis tak bersisa..minus malah, terkuras saat mendaki. Semangat empat lima kami menuju rumah penginapan. Sudah menunggu kami di atas tikar pandan, nasi putih masih mengepul, sayur bening pucuk labu, telor dadar, kerupuk, dan sambal secawan kecil. Kami ini yang suka pedes sedikit kecewa dengan sajian sambalnya yang cuma sedikit.

Tanpa sungkan setelah dipersilahkan, kami menyenduk nasi dan sayur ke piring masing-masing…tak lupa lauk dan sambal. Suapan pertama….aku langsung menggapai-gapai, cari air putih. Henry pura-pura tidak tahu apa yang aku butuhkan. #Pengennendhang. Itu sambal ya ampuuuuuuuuuuuuuuuun…pedhesnya amit-amit. Ini cabe apaan sih yang dipakai. Sumpah, seumur hidup…ini sambal terpedas yang aku pernah makan. Menyesal juga tadi dah menganggap remeh. Pantas itu para mama cuma kasih sedikit. Kalo dikasih banyak, kami bisa diare kali ya.

Makan siang ini sederhana banget, tapi nikmat. Faktor pertama pasti karena kami semua pada kondisi lapar. Yang kedua…makanan ini fresh from tungku. Iya, dimasak pake kayu bakar. Yang ketiga…susananya. Coba bayangin, lo padha laper, trus makan ditengah bale Mboru Niang yang adhem, disuatu kampung yang mirip dongeng, di suatu tempat yang mirip cerukan dikelilingi gunun-gunung, sejauh mata memandang…terlihat hanya warna hijau.
#Ngilerkan?

Setelah makan siang, kami mengisi buku tamu disitu. Dan namaku tercatat sebagai tamu ke 738 tahun ini, Ka Ros ke 739 dan Henry ke 740. #Bangga ih. Setelah makan, kami bersiap untuk turun. Kami memang tidak berencana menginap karena kami mengejar otto ke Ruteng besok dini hari. Kami akan kembai nginap di rumah Pak Blasius.

Setelah beberes, tas Si Henry kembali berpindah ke pundak Pak Conrad. Kami berpamitan dengan Mama-mama di rumah penginapan dan menuju halaman. Kami masih menyempatkan mengambil foto di sesi-sesi akhir kunjungan kami. Terakhir..dipintu gerbang, kami minta Pak Conrad ambil foto kami bertiga. Dua kali jepreten dengan latar belakang ketujuh Mboru Niang. Trus kami juga ambil foto bertiga menggunakan tongsis Ka Ros. Kelar, kami pun kembali menapaki jalan setapak melintasi kebun kopi. Pulang.

Sebelum pulang

Sebelum pulang

Di tengah-tengah perjalanan, tiba-tiba ada alarm berbunyi. Awalnya aku pikir suara hape. Tapi kan gak ada sinyal? Ternyata itu alarm dari hape Ka Ros. Ka Ros heran…lho, kan gak nyetel alarm? Nyetel alarm-nya tadi pagi kan? Tadi pagi malah gak bunyi. Kami bangun karena aku kebangun jam empat pagi lewat dikit. Trus, kata Ka Ros…itu alarm sedang dalam posisi off. Dalam arti tidak dalam posisi aktif. Kok?

Walaaaaaaaaaaah…Bismillah, semoga kami selamat sampai rumah.
Sepanjang jalan kami bercanda, berusaha tidak mengingat kejadian tadi. Si Henry malah godain para tamu yang naik dengan mengatakan, “Ayo…sudah dekat. Dikiiiiiiiiiit lagi…”. Hm…bisa begayo dia sekarang. Coba ingat tadi pagi?
Perjalanan turun ini cepat sekali. Bahkan tidak terasa..kami sudah sampai saja di pos dua. Disitu kami papasan dengan para kru Trans 7 yang lagi istirahat dan menuhin rest area. Kami tidak istirahat disini, dan terus jalan. Disini kami baru sadar…bahwa kami hebat sekali bisa melewati tanjakan-tanjakan ini. Tanjakan ini ternyatasangat lebih dari lumayan. Turunnya aja terpeleset-terpeleset. He,he…
Sepanjang jalan Ka Ros mewancarai Pak Conrad tentang kehidupan di Waerebo. Semangat sekali dia. Sudah mirip Desi Anwar mewancarai Dalai Lama saja. Serius banget. Taruhan berapa? Besok pagi dia sudah lupa dengan semua cerita itu…
Di pos satu…Oh…iya pos satu. Pos satu tempat si Henry memulihkan tenaga itu. Gak terasa banget udah nyampe pos satu. Disini kami ketemu serombongan anak-anak muda, belasan orang, yang baru mau naik. Mereka pikir kami nginap di Waerebo. Tapi pas kami bilang, kami naik tadi pagi dan sekarang turun…mereka riuh. Dan menjadi semangat lagi karena-nya. Maksudnya…kami aja kuat naik turun, masa mereka yang naik..trus nginap disana, besok baru turun…gak bisa? Selamat Mas Bro…masih jauh pake bingits itu. #Sttt, tentu kami gak setega itu ngomong.

Di perjalanan turun ini, yang membuatku tersiksa justru waktu kami menyusuri jalanan berbatu. Rasanya sakit semua kaki. Mana kaki sudah mulai lelah dan ngangkat telapaknya dah gak bisa setinggi tadi pagi…alhasil sering banget terantuk batu-batu di situ. Hm, ini rupanya yang dibilang susah ma Pak Conrad tadi pagi. Disini Pak Conrad juga cerita. Katanya, tadi pagi dia stress lihat kondisi Henry, da betul-betul tidak yakin Henry bisa nyampe Waerebo. Trus Pak Conrad berdoa, waktu kami berangkat duluan selpas pos satu, memohon supaya Henry diperingan langkahnya.
Dan percaya atau tidak…selepas pos satu, Si Henry bisa mengimbangi langkah-langkah kami. Berjalan dalam kecepatan normal dan lelah dalam masa yang normal. Padahal sebelumnya, haduuuuuuuuuuuuuuh…kami dah mulai mempersiapkan mental kalo harus mengantarnya balik ke rumah Pak Blasius. #Kemungkinanterburuk.

Selah jalan selama dua jam lewat dikit, kami akhirnya sampai dirumah Pak Blasius. Disambut Pak Blasius yang sedikit heran karena kami dah sampai rumah sore itu. Ha,ha…belum tahu cerita soal Henry saja.

Dirumah, sambil istirahat, kami melihat foto-foto yang kami ambil diatas. Dan Ka Ros mengagetkan kami dengan mengatakan foto kami yang di pintu gerbang waerebo tidak ada. Gelap. Hitam. Seperti tertutup jari-jari tangan. Hah? Padahal kan kami foto dengan tongsis. Tangan siapa?
Penasaran, aku lari ke kamar dan mengambil kamera sakuku. Membuka file-file foto, mencari foto yang diambil Pak Conrad dua kali di tempat yang sama. Dan aku lemes, kedua foto itu juga tidak ada.

Kami bertiga, aku, Ka Ros dan Henry hanya bisa saling pandang. Tak Mengerti.

Sumbawa-Lombok: Gili Kondo dan Ujung Kuku Kaki Rinjani

Sampai di Poto Tano sudah jam sembilan lewat. Sempet ngintip kamar mandi di Pelabuhan…tapi sepertinya semua sepakat, gak akan mandi disini. Lapar perut lebih mendesak membuat kami melipir masuk ke warung di dekat ruang tunggu pelabuhan. Warungnya bersih, karena masih pagi, belum banyak orang…sepi, termasuk juga pilihan makanannya ikut sepi. Akhirnya…kembali kami harus makan makanan khas Kenawa selama 2 hari ini. Mie. Tapi kali ini ditambah Telor dan Bon Cabe yang dibawa Bingar. Lumayan berasa. Dan yang lebih menyenangkan, kita bisa ikut nge-charge power bank. Gratis!. Kelar makan, Johan dan Ayok beli tiket dan kita langsung memutuskan masuk feri yang mau berangkat. Kali ini, ruang duduk di dalam Ferry ber-AC. Lumayan buat ngadhem setelah 2 hari terpanggang panas matahari Kenawa. Kalau sewaktu berangkat, malam hari, feri sepi banget. Kali ini kebalikannya. Rame poooool. Tapi seperti biasa, kami masih bisa mengamankan dua deret kursi buat tiduran. Nyaman. …. Sudah jam setengah satu siang saat kapal merapat di Pelabuhan Kayangan. Tak sabar menunggu di dek atas, kami turun ke bawah…berdesakan dengan mobil dan pick up pengangkut ayam potong yang baunya minta ampun #Weeeeek…salah siapa!. Begitu bis di depan keluar, kami langsung berlarian keluar…gak tahan ma asap motor dan bau kotoran ayam. Keluar dari ferry, kami berjalan melipir ke kanan. Apalagi kalau bukan nyari kamar mandi. Alhamdulillah…kamar mandi di pelabuhan kayangan ini cukup bersih. Gak banyak omong, kami semua taruh ransel di ruang tunggu, sebagian mandi, sebagian nunggu barang. Gantian. Dan badan terkena air itu rasanya………….sesuatuuuuu banget. Segeeeeeeer. Sayang gak bisa berlama-lama di kamar mandi, Ka Ros udah gedor-gedor pintu. Iiiiih…merusak kesenangan orang saja dia. Balik ke ruang tunggu, hanya ada Ayok dan seorang yang tidak kami kenal lagi tiduran di di bangku ruang tunggu. Males berjalan ke mushola, aku putuskan menggelar tiker plastik di ruang tunggu lalu sholat disitu. Habis mandi, habis sholat, habis beberes…tibalah saatnya bingung. Tahukah sodara-sodara…kami belum tahu gimana cara pergi ke Gili Kondo dari Kayangan. Sebagian caper-caper di blog-blog pejalan bilang bisa naik ojek…bisa juga naik angkutan umum. Nah, keluar dari ruang tunggu, aku beli air mineral 1,5 liter 2 botol (takut mahal banget di Gili Kondo)…itu juga pesan-pesan para pejalan sih. Abis itu, kami nawar ojek. Mereka minta 35 ribu. Hah? Mahal amat sih…padahal katanya gak pake jauh (di internet). Ka Ros lagi sibuk berhubungan dengan Pak Jefri, pemilik perahu yang kami sewa untuk menyeberangkan ke Gili Kondo. Dia bilang, kami diminta turun di Padak Guar. Sebelum Gili Lampu. Saking bingung…kami putuskan ngopi dan ngeteh dulu di warung pelabuhan. Nanya-nanya ma ibu warung tentang Padak Guar, eh…si Ibunya malah gak tahu. Tapi kalau Pulau Lampu dan Gili Kondo mereka tahu. Oalah Pak Jefri…Padak Guar ini memang ada, atau baru dikasih nama kemaren sih? Kok banyak yang gak tahu… Untunglah…malaikat dikirim Tuhan untuk mengetuk hati Pak Jefri buat menolong anak-anak terlantar ini. Hi,hi…lebay. Pak Jefri telpon, nawarin di jemput pake Carry temannya. Biayanya 100 ribu berlima, dan langsung kami putuskan, “75 ribu ya, Pak?”. Eh, di oke in pula. Nah…dalam episode menunggu carry ini, kami kembali memanggul ransel ke musola favorite kita. Mushola yang sama tempat kami ngemper sebelum nyeberang ke Sumbawa. Kami hanya ha,ha, hi,hi disana. Ngetawain Ayok yang bingung dengan handuk basahnya yang dijemur di pagar mushola. Lama-lama nih mushola bisa jadi kos-kosan kayaknya. Ada angkutan umum, jelek, masuk ke pelabuhan. Aku dapet feeling…ini nih yang menjemput. Kata Ka Ros, “Pak Jefri bilang, kita dijemput pake Carry.” Trus dengan kalem Johan ngejawab, “Nah…tuh angkutan kan Carry juga.” He,he…dan ternyata aku benar. Si bapak sopir, berjalan menghampiri kami di Mushola dan menanyakan apakah kami tamu Pak jefri, dan kami jawab dengan anggukan. Bergegas kami mengikuti si bapak ke tempat parkir. Sumpah! Ini angkutan mengingatkanku ke desa nenekku di Pacitan sana. Dulu, kami sering diajak ke pasar menggunakan angkutan sejenis. Ha,ha…jadi bernostalgia.

Dalam angkutan pedesaan. #Kayangan-Padakguar

Dalam angkutan pedesaan. #Kayangan-Padakguar

Perjalanan ke Padak guar lumayan. Lebihlah kalau 11 kilometer. Dan jalannya selang seling…kadang mulus…kadang rusak…kadang dalam perbaikan. Disisi kanan pemandangan laut. Disisi kiri pemandangan rinjani. Keren kan? Setelah mampir di rumah Pak Jefri sebentar, kami diantar ke pantai. Disana sudah menunggu pemilik kapal, yang diminta Pak Jefri buat nganterin kita. Walaaaaaaaaah…yang mana sih Pak Jefri ini. Yo wes lah…kami segera naik perahu. Tukang perahu ternyata sudah menyiapkan kayu bakar pesanan kita. Trus kami minta diantar ke Gili Kapal dulu sebelum ke Gili Kondo. Banyak hal yang ingin kami tanyakan ke tukang perahu…tetapi sebagain besar kami batalkan. Kenapa? Ini gara-gara pas Bingar tanya (aku lupa apa yang ditanyakan…), si Bapak mematikan mesin dulu, minta Bingar ngulangi pertanyaannya, baru kemudian di jawab. Jadi bisa kalian banyangkan…kalau kami tiga kali bertanya, akan tiga kali pula dia matikan mesih. Trus, kapan kami nyampenya. Bingaaaaaaaaaaaaar! Stop! Lo jangan tanya-tanya melulu…ini kita bukan di sekolahan ato kampus. …. Gili Kapal. Tak ada apa-apa disini. Swear!! Yang ada hanya gundukan pasir saja. Tidak ada tanaman apapun. Tapi justru disitu istimewanya. Gili ini kadang ada…kadang tiada. Tapi bukan hantu. Pulau ini biasa juga kita sebut gosongan, yang akan muncul ke permukaan kalau laut surut trus hilang kalau laut pasang. Dan beruntunglah kami bisa menjejakkan kaki di pulau seluas lapangan bola itu (atau kelebaran ya?).

Gili Kapal #Falling in love with Indonesia

Gili Kapal #Falling in love with Indonesia

Puas bernarsis ria di gili kapal, kami sebenarnya ingin ke Gili Bidara…tapi laut lagi surut, perahu tak bisa merapat. Hadew, padahal kita mau beli ubi manis. Tapi kata Pak Perahu, di Gili Kondo pun ada ubi manis. Oh…okelah. …. Kami menjejak lembutnya pasir Gili Kondo sudah hampir jam 3 sore. Sepi…hanya ada satu tenda yang tidak kelihatan penghuninya. Mungkin lagi snorkling. Ada resort sederhana di sana, dikelola oleh penduduk setempat. Lagi-lagi kami belum diijinkan ketemu Pak Jefri. Orangnya lagi nemeni tamu snorkling di tengah laut sana. Langkah-langkah lapar membawa kami ke satu-satunya cafe disitu. Cafenya asri, lantainya kerikil-kerikil pantai…meja dan kursinya didesign seperti kesenangan turis-turis asing. Natural. Tapi tidak kulihat satu turis manca pun disana. Kami kemudian dengan pede memesan nasi goreng. Tidak ada! Ikan bakar? Tidak ada! Katanya, kalau sperti itu harus pesen satu hari sebelumnya, baru akan disiapkan. Karena tidak setiap hari ada orang datang. So…kami makan apa dong? Ya makan mie lah…apa lagi? Dan yang bikin sewot…ternyata air mineral disini harganya ‘cuma’ lima ribu rupiah. Lebih murah 2 rebu dibanding yang aku beli jauh-jauh di Kayangan. Ngapain berat-berat aku bawa itu air dari kayangan ya. Mending beli lengsung di Gili Kondo. Pas kami nunggu mie…Ayok ma Johan hunting tempat mendirikan tenda. Pas balik, mereka cukup puas sudah menentukan tempat yang ideal. Katanya disamping tenda nanti ada 2 batang pohon yang bisa untuk pasang hammock. Selesai makan mie (seharga 10 ribu sudah dengan air mineral 500 ml), kami mendirikan tenda dan memasang hammock. Barang-barang dimasukkan ke tenda, tikar dihamparkan didepan tenda, tungku dibuat, kayu-kayu bakar dibelah. Pas kami lagi sibuk, pak Jefri muncul. Akhirnya!. Dari Pak Jefri kami tahu bahwa dia adalah orang yang menghidupkan kegiatan pariwisata di daerah padak guar, mengajari warga setempat untuk ‘berjualan’ pulau-pulau indah ke para pecinta nuture. Tidak heran, 13 tahun dia bekerja di Perama Tour yang terkenal itu. Jadi urusan customer service…sudah tdak perlu diragukan. Dan Pak Jefri pula lah yang mencarikan kami ubi manis di Gili kondo, dan dikasihkan ke kita. Gratis! Makasih ya Pak…jemput kami besok jam sembilan pagi. …. Sesorean kami menghabiskan waktu dipantai, mencari kerang-kerang cantik. Maunya sih berburu sunset. Tapi matahari di Gili Kondo, cepat sekali ditelan Rinjani. Hari sudah menjelang magrib saat kami menyalakan api. Kali ini kami sukses menyalakan api tanpa minyak tanah, hanya bermodal daun kering, potongan-potongan bambu tak terpakai yang kami temukan di pasir pantai. Api cepat besar. Itu karena Ayok yang pegang. Giliran Ka Ros…mati-mati melulu. Pertama kami bikin mie (lagi) buat makan malam. Kali ini mie mateng seutuhnya. Kelar makan mie, kami memperbesar api supaya banyak baranya. Setelah cukup bara apinya, kami masukkan ubi-ubi manis ke dalam #Serasa ikut upacara bakar batu di lembah baliem. Dan Ka Ros lucu sekali…dia bakar ubi kayak bakar jagung, di bolak-balik melulu. Gimana tuh ubi mau mateng? Ampun deh, yang ada apinya mati lagi. Hadoooooh! Ubi bakar ini lezaaaaaaaaaat sekali…sungguh. Apalagi dimakan saat lapar macam kami ni. Kenyang makan ubi bakar, Ka Ros mau rebus ubi buat dimakan malam-malam…siapa tahu ada yang kelaparan. Merebus ubi kami pasrahkan ke Ayok. Kami bertiga, aku, Ka Ros dan Bingar pergi mandi. Di Gili Kondo ini, disediakan air bilas yang dibawa dari daratan lombok sana. Harganya satu gentong 10 ribu. Mandi pun harganya 10 ribu. BAB dan BAK 5 ribu. Jadi kalau kita mandi, trus BAK trus BAB…20 ribu dong. Enggak juga kale. Cerdas sedikitlah! Jadi kami bilang mau mandi…trus didalem kan kita bisa sekalian BAK dan BAB. Keluar tetap bayar 10 ribu. Begitu Mas Bro! …. Abis mandi dan keramas …yang rasanya mewah sekali, kami balik ke tenda. Ternyata ubi sudah matang. Makasih ya Ayok…kalo gini kamu jadi adek termanis deh #Johan tidak boleh ngiri. Bingar memutuskan ngandhang di tenda. Ka Ros santai di hammock memandang langit yang dipenuhi bintang dengan head lamp nyala dikepala. Hm…dikiranya cahaya headlamp nyampe ke bintang kali ya. Aku berbaring terlentang di tikar, di depan tenda…di dekat perapian yang nyala segan, mati tidak mau. Bintang-bintang di Gili Kondo sangat cantik. Sama dengan di kenawa. Seakan Tuhan tumpahkan semua bintang yang ada di atas Gili Kondo. Subhanallah. Ah, jadi ingat saat kecil…tiduran di halaman rumah, beratap langit mendengarkan ibu mendongeng. Di Surabaya mana bisa? Johan dan Ayok tidak masuk tenda…padahal kata Ayok, Johan udah ngantuk. Kenapa? Karena headlampnya tidak ada, lagi dipakai Ka Ros. Dipakai buat apaan sih? Masa tiduran di hammock pakai headlamp nyala begitu. Gak jelas! Dan tiba-tiba “Buuukkk!!”. Dia terguling dari hammock, bangun sendiri trus bilang, “Aku jatuh!” He,he…syukurin! Sono, tidur dalam tenda. Tak lama, kami dua nyusul bingar yang berenang di lautan mimpi. Masih kudengar Johan ribut nyari gelas (hm…pasti mau ngopi), habis itu tewas.

Berlatar si Cantik Rinjani #Gili Kondo

Berlatar si Cantik Rinjani #Gili Kondo

Rutinitas camping #Nyucinesting

Rutinitas camping #Nyucinesting

In front of our tents #Gili Kondo

In front of our tents #Gili Kondo

Bye Gili Kondo

Bye Gili Kondo

Setengah lima…aku towel bingar ngajak sholat subuh. Kami tinggalkan Ka Ros di tenda sendiri untuk mandi (mewah sekali kan camping kita kali ini) dan sholat. Habis sholat balik ke tenda, ka ros sudah balik lagi ke Hammock tanpa headlamp. Kami bikin keributan didepan tenda sebelah…yang akhirnya, mau tidak mau mereka terpaksa bangun. Rencananya sih mengabadikan sunrise di Gili Kondo. Tapi hari sebenarnya masih cukup gelap. Ka Ros turun dari hammock, masuk ke tenda. Kami sebenarnya tidak ada yang perhatian…sampai kemudian terdengar suara, “Brak!” diikuti benda besar jatuh, “Buukkk!!”. Aku tidak menoleh ke belakang karena sudah menduga, kulihat Ayok menahan tawa, seperti melihat sesuatu yang aneh dan menggelikan diikuti Johan yang tertawa sampai bungkuk di depan tenda. Ternyata sodara…Ka Ros nabrak net (pintu kasa) yang ditutup sama Bingar. Karena warnanya hitam, jadi itu pintu kasa tidak kelihatan, dia maen nyeruduk masuk trus terguling di teras tenda. Ha,ha…. Kami semua tertawa ngakak pagi-pagi sampai keluar air mata. Ampuuuuuuuuuuuun deh orang satu itu. Pagi di Gili Kondo sangat menawan. Dan seperti biasa, kulanjutkan pencarianku untuk kerang-kerang, di bantu bingar dan Johan. Ayok sibuk jadi fotografer. Objeknya adalah makhluk aneh bernama Roslina Ginting yang lagi membersihkan nesting di pinggir pantai. Udah seperti Kleting Kuning membersihkan jelaga saja dia…#background lagu andhe-andhe lumut Pagi hari kembali kami makan….mie (agak khawatir pulang rambut jadi keriting ntar…). Kami sih dah sms Pak Jefri, minta tolong dibelikan nasi di Padak Guar, tapi gak banyak berharap juga, jadi ya…mie dulu lah. Puas bermain di pantai, kami mulai membereskan ransel dan tenda. Tengah beberes, Pak Jefri datang dengan membawa….nasi bungkuuuuuuuuuuuuus!!! Lauknya cuma ayam dan sayur oseng-oseng buncis…tapi sungguh…sungguh…ini uenaaaaak banget. Ra mbujuki. Apa lagi pedheeeeeeeeeeeees. Akhirnya kami ketemu nasi juga! Terima kasih Tuhan! Dalam kondisi kenyang, kami tinggalkan Gili Kondo. Pak Jefri masih bersedia ngantar kami ke Gili Bidara (yang kemaren kami lewati) ditambah mampir ke Gili Petagan. Gili Petagan ini terdiri dari kerimbunan pohon bakau yang ditanam orang-orang jepang. Ada jalur-jalur di tengah-tengah bakau, kalau dilihat dari atas mungkin mirip labirin. Airnya jernih….dasarnya pasir…dijalurnya ditumbuhi semacam rumput. Katanya biasa di sebut Padang Lamun. Semacam padang rumput tapi di laut. Kereeeeeeeeeeeeeeeeen.

Nyandar bentar di Gili Bidara

Nyandar bentar di Gili Bidara

…. Kembali kami menjejak Lombok. Oleh penduduk setempat, kami dikasih tahu, untuk ke Kuta…kami musti naek Engkel. Turun Kopang. Dari Kopang, ganti angkutan untuk ke Praya, dari Praya baru ke Lombok. Trus dibisikin juga, “biaya engkel sampai Kopang 20 ribu, tapi tawar dulu lima belas ya..siapa tahu bisa.” Aduuuh..makasih banyak ya, Pak. #Terharu ma kebaikan mereka ini. Engkel itu seperti apa kami belum tahu. Kopang ada dimana kami juga tidak tahu. Semua absurd. Serba belum jelas. Tapi yang jelas, perjalanan ini pasti akan seru. Apalagi, begitu sampai jalan besar, langsung ada engkel (ternyata mirip elf besar) lewat. Seperti yang dipesankan, kita tawar si Bapak sopir…20 ribu sampai Kopang. Tapi rupanya tampang gembel kami kurang meyakinkan. Dia keukeuh tetep bilang 20 ribu. Yo wes lah…toh bapak tadi juga kasih tahu, biasanya 20 ribu juga. Dengan pasrah…kami berikan ransel-ransel kami ke bapak sopir untuk dinaikkan ke atap engkel. Kami berlima naik ke dalam engkel dan serasa artis, ditatap orang-orang yang ada di engkel dengan tatapan…entahlah, tidak jelas. Aneh? Mungkin! Sebelum engkel bergerak, aku teriak, “Pak kami tidak tahu Kopang ada dimana. Turunkan kami di Kopang ya!”. He,he… Dan Engkel pun bergerak meninggalkan Padak Guar. Bye Gili Kondo. Bye Lombok Timur. Bisalah kami suatu saat nanti bercerita pernah kesana dan menginjakkan kaki di Kaki Rinjani. Meski di ujung kuku kakinya. #Ada yang ‘ngidham’ pengen ke Rinjani

Sumbawa-Lombok: Kenawa Part I

Kenawa.

Sudah mulai tahun kemaren aku mengincarnya. Mupeng lihat foto-foto di blog-blog para pejalan yang mampir kesana. Jadilah Kenawa kita masukkan ke agenda trip tahun ini (2014). Mengetahui kami akan ke Kenawa, beberapa teman asal Flores sudah heboh, mengira kami akan ke Kanawa.
He,he…tahukan kalian di mana Kenawa, dan di mana Kanawa. Yups! Kalau Kenawa ada di Sumbawa barat (masuk propinsi Nusa Tenggara Barat), kalau Kanawa ada di propinsi Nusa Tenggara Timur. Jadi memang ada dua pulau yang namanya mirip…tidak usah berargumen. Yang jelas, dua-duanya ada di Indonesia…dan dua-duanya indah.

Sabtu, berangkat kerja sudah dengan menggendong ransel besar, naek angkot (kalo bawa motor malah harus nitip lagi). Kami semua ketemu di Citarum nomor 3, kecuali Bingar yang pulang kerja langsung ke rumah dan berangkat ke bandara dari deltasari. Ayok masih harus membongkar ransel karena harus masukkan satu tenda ke ranselnya. Hanya montana yang bisa masuk ternyata, karena tenda Inferno Eiger terlalu besar dan tidak bisa di manipulasi untuk digulung kecil…jadi tugas Johan menggendongnya. Gak pa pa kan Jo…salahnya, ransel lo paling kecil. #tersenyum jail

Di Bandara Lombok Praya

Di Bandara Lombok Praya

Johan dan Ayok bermotor ke Juanda, aku dan Ka Ros bersama barang-barang, naek taksi. Dan karena semua belum makan, lapar, kami mampir dulu di Singgalang. Check-in berjalan mulus. Hanya tenda yang masuk bagasi, ransel bisa dibawa ke kabin. Dan wuih…antrian ke Lombok, penuh dengan manusia-manusia beransel dan bersepatu Trekking. Yups, kami tahu…tujuan mereka Rinjani. Maaf kan, kali ini kami ke Kenawa. Kalau pun Tuhan memberikan kesempatan ke Lombok lagi, sangat mungkin kami pilih Rinjani. (Mmm…kapan ya?).

 

Penerbangan malam kami berjalan mulus. Mendarat di lombok praya jam 21.30. Sudah malam…dan kami belum mendapatkan butana. Sewa mobil ke pelabuhan Kayangan 300 ribu (mungkin kalau di luar bisa dapat lebih murah), mampir Indomart di bandara…tapi tidak jual butana. Untung sopir yang antar penuh pengertian, setiap lewat indomart yang masih  buka, kami singgah…tapi nihil. Tak ada butana disana. Huaaaa….kayaknya betul-betul harus pakai kayu bakar ini. Sampai di Kayangan jam setengah duabelas malam. Jauh juga kan LOP-Kayangan, 2 jam tanpa macet. Pelabuhan di lombok timur ini sudah mulai sepi. Tapi kami tidak khawatir karena setiap jam ada feri ke Poto Tano, Sumbawa.

 

Kami bersantai di sana, ngeteh…ngopi…nge-mi di sebuah warung di pelabuhan, sambil berdiskusi. Kami memutuskan akan menyeberang sekitar jam dua pagi saja, supaya sampai Poto Tano pas subuh. Setelah beli tiket, jadinya kami tidak masuk ke Feri, tetapi menggendong ransel ke sebuah mushola di dalam lingkungan pelabuhan. Mushola-nya kecil tapi bersih. Lumayan bisa sholat dan istirahat disitu. Kami semua sempat memejamkan mata kecuali Ayok. Ha,ha…dia takut tidak ada yang bisa bangun, trus bablas gak nyebrang ampe pagi.

 

Tet jam dua, kami berkemas. Dan hujan turuuuuuuuuuuuuun. Berlari-lari kecil, menghindari curahan air hujan, kami masuk ke Feri. Sepi di dalam. Kursi-kursi pada kosong. O’ya…kalau mau tiduran di feri, bisa sewa kasur. Sepuluh ribu per kasur. Lumayan kan? Tapi kami yang terbiasa tidur dimana saja, ogah buang duit 50 ribu hanya buat sewa kasur…toh, kursi-kursi itu kosong melompong. Kita bisa tiduran malang melintang disana. Dan betul saja. Kami langsung tertidur nyenyak, bangun-bangun saat Feri sudah mau merapat di Poto Tano. Eh, si Ayok malah nanya, “Ini kapal udah berangkat apa belum sih?”. He,he…udah nyampe kaleeeeeeee.

 

Pak Irfan, pemilik perahu yang akan kita sewa ke Kenawa sudah menunggu di pelabuhan. Sebenarnya buat teman-teman yang berangkat siang, bisa langsung menuju pelabuhan nelayan…berjarak sekitar satu kilo dari pelabuhan utama, trus langsung minta tolong ke para nelayan untuk di seberangkan ke pulau Kenawa. Berhubung kami datang subuh, kami sudah kontak Pak Irfan untuk jemput di pelabuhan. Pak Irfan mengajak kami pergi ke rumahnya yang dekat pelabuhan nelayan. Seperti umumnya rumah dekat pantai, rumah-rumah disini berbentuk rumah panggung, mengantisipasi saat air laut pasang. Dan kolong-kolongnya digunakan untuk kandang kambing. Dan kambing disini seperti hewan peliharaan…bisa jalan-jalan bebas dijalanan kampung, masuk ruang tamu. He,he…bisa dibayangkan?

Sampai dirumah Pak Irfan kami diterima di ruang tamu. Rumah sederhana. Tak terlihat ada kamar mandi disitu. Tapi ketika masuk subuh, aku tidak tahan untuk tidak bertanya.

“Maaf bu, mau numpang ikut sholat. Dimana bisa ambil wudhu?”

Si Ibu mengajak saya ke dapur. Ada dua ember disitu, dan diminta wudhu memakai air itu.

“Langsung disini saja?”

“Iya.” Jawabnya.

Lantai dapur itu terbuat dari bambu…jadi air bekas wudhu langsung terbuang ke bawah, ke kolong rumah. Jadi batal mau pipis. He,he…serasa pemanasan nahan pipis sebelum masuk Kenawa. Tak apalah, nanti saja. Yang tidak kami tahu, dalam dua hari kedepan…tidak akan ketemu toilet.

Matahari sudah mulai terang sinarnya. Aku dan Ka Ros diantar Pak Irfan membeli sarapan nasi bungkus, dan membeli nasi saja lima bungkus untuk siang. Kami juga memberi 2 galon air isi ulang, satu ikat kayu bakar, dan sedikit minyak tanah. Tidak lupa, meminjam parang ke Pak Irfan. Ketika semua beres, kami langsung berangkat, berjalan lewat sela-sela rumah nelayan menuju ke pelabuhan. Ada kesan jorok di kampung itu dengan kambing dan kotoran-kotorannya yang ada dimana-mana. Aduuuuuuuuuh…betapa mereka butuh edukasi…edukasi…edukasi. Ada banyak pe-er kita, sebagai sesama bangsa Indonesia di sana.

 

Sebelum ke Kenawa, kami minta diantar dulu di Pulau Kambing. Kenapa disebut Kambing? Katanya dulu untuk menggembala kambing. Trus kami tidak bisa turun disini karena tidak ada pantai atau dermaganya, jadi perahu tidak bisa merapat. Dari Pulau Kambing, kami berputar menuju ke pulau Paserang. Di pulau ini kami turun. Ada resort yang sedang dibangun. Kami berharap ada air dan kamar mandi karena terlihat ada baik air besar warna kuning. Pengen pipis sudah gak nahan.
Kami pun ijin menggunakan kamar mandi. Air di bak mandi hanya sedikit, kotor pula. Ya ampuuuuuuuun….betul-betul dah. Terpaksa oh terpaksa. Untung, kami siap tisue basah.
Tak berlama-lama disana, hanya numpang makan, kami langsung cabut pergi ke Kenawa.

 

Yuhui….satu kata untuk Kenawa. SEPI.

Begitu sampai…aku, Johan dan Ayok langsung hunting tempat untuk mendirikan tenda. Kami menemukan, tanah yang sedikit tinggi di tengah-tengah padang rumput. Pas buat 4 atau 5 tenda. Pagi itu, sebelum matahari bertambah tinggi, kami pasang satu tenda. Tetapi kemudian, kami memutuskan untuk tidur dan istirahat siang di berugak. Terlalu panas boooooooooooooo…kagak nahan.
Menjelang siang…perut-perut mulai keroncongan. Ayok girang setengah mati nemu butana di atap berugak. Katanya sih masih ada isinya. Baiklah…mari kita coba. Ola la…ternyata gak cukup buat mendidihkan  air. Mari..mari…beralih saja ke kayu bakar, bikin tungku. Silahkan Ka Ros…keluarkan kemampuan Anda untuk mematikan api. Catet…mematikan bukan menyalakan. Lha wong api menyala, dipegang Roslina jadi mati semua. Ampun dah!

Alhamdulillah…mie setengah matang kita pun akhirnya, setelah berpeluh, jadi. Cukup untuk mengganjal perut karena ditambah nasi lauk ikan teri. Nyam..nyam…nyam…

Kenyang makan, kita mendirikan tenda kedua di dekat tenda yang sudah kita dirikan tadi pagi. Balik lagi ke berugak, menunggu waktu sholat asyar. Wudhu kami lakukan dengan mengucurkan melalui botol aqua 1,5 liter. Tidak sia-sia kita bawa dua galon air isi ulang. Sehabis sholat, kami berkemas, membawa semua barang ke tenda karena beberapa pengunjung mulai datang. Mereka hanya sekedar snorkling, tanpa nge-camp. Angin bertiup sangat kencang, dan langit mulai sedikit mendung. Menunggu sunset, kami berlima naik ke puncak bukit sambil berkali-kali maksa Ayok ngambil foto. Itu kan tugas fotografer…he,he…Sayang suasana mendung tidak memungkinkan kami melihat sunset dengan sempurna. Alih-alih kami harus segera turun karena hujan sudah mendekat. Begitu sampai di tenda, hujan turun dengan deras. Sempat kuraih kayu bakar untuk kumasukkan ke teras tenda…

 

Hujan dan angin bertiup sangat kencang sampai terdengar suaranya di telinga. Tenda bergoyang hebat. Hati kami udah kecil…Ya Allah, jangan sampai tenda terbang. He,he…lucu juga sih, kan di dalam tenda ada kami bertiga. Aku saja 50 kg. Apalagi ditambah Ka Ros dan Bingar…belum lagi ransel-ransel kami yang segedhe gaban, jadi coba hitung  berapa beban yang nahan tenda. Pasti amanlah.

 

Dan kemudian…tes…tes..tes…tetesan hujan membasahi baju.

Tenda bocoooooooooooooooooooor!!! Oh Tuhan!

 

To be continued.

Persiapan ke Swedia: It’s approved

“Visa sudah jadi dan bisa diambil”.

Aduuuuuuuuuuh…jawaban ditelpon itu terasa merdu baeng di telinga. Alhamdulillah, setelah dengan penuh perjuangan. He,he…lebay!
Maklum….sebelum visa keluar, yang namanya ke Goternberg itu seakan jauh banget…sejauh jarak Indonesia-swedia. (Alay!!). Bikin gak doyan makan, gak konsen…maklum cin, itu tiket udah kebeli, registrasi udah, beli asuransi perjalanan udah…bayar pengurursan visa online sudah, beli tiket Surabaya-jakarta PP sudah. Bayangkan kalau visa tidak diapproved…hilang deh tuh duit. Yeee, siapa suruh kepedean?

………
Jadi begini ceritanya neh..

Aku registrasi karena ngejar super early bird (Catet: biar dapat harga paling murah)
Aku beli tiket karena ngejar harga ekonomi dan sebelum haga tiket naik-naik ke puncak Cartenz (Catet: biar dapat harga lebih murah)

Aku beli asuransi perjalanan karena itu syarat pengurusan visa schengen (Catet: bikin ribet dan dompet cupet)

Aku bayar pengurusan visa ke embassy online karena tanpa itu visa tidak bisa diproses dan ogah lewat calo. (Catet: supaya dapet murah)

Aku beli tiket pesawat Surabaya-Jakarta PP untuk interview pengajuan visa di kedutaan Swedia (Catet: bikin ribet dan atm jerit-jerit karena ditarik mulu)

Pulang kerja…aku lari-lari….eh, maksudku naik taksi ke Juanda. Dapat penerbangan jam 18.30. Alhamdulillah sih citilink ontime…tapi kenapa nyampe di Cengkarengnya jam delapan lewat ya (tadi diatas nyasar dimana dulu sih? lama banget!). Dari Cengkareng, janjian ma Helen ketemu di Dharmais (ceritanya nebeng nginap di rumah Helen…catet juga: ngirit ongkos). Kata Helen suruh naek bis arah Blok M aja, turun depan dharmais. Tapi karena dah capek banget, aku ambil taksi…(kalo pake bis, trus ketiduran bablas ampe Blok M…riweh). Nyampe Dharmais, diajakin nengok temen yang lagi opname…gak pake berlama-lama disana karena harus kami mampir JNE, Helen mau kirim sesuatu. Udah jalan kaki ke JNE, ternyata YES gak bisa dilayani, udah kemaleman. Kita putuskan pulang deh. Keluar dari JNE pas banget ada bus lewat…langsung loncat! Alhamdulillah dapat tempat duduk.

Duduk di bis, aku keluarkan tablet hisap untuk mengurangi nyeri telan tenggorokan (tau tuh…abis makan cemilan di rumah sakit, langsung nyeli telan. Jangan-jangan tuh makanan kedaluwarsa..). Jakarta sudah bebas macet jam segitu. Turun dari bus sambung angkot. Turun angkot…beli nasi goreng (baru keinget cin…belum makan). Dan rupanya perutku sudah sebagian keisi angin…makanannya gak habis (padahal aku kan manusia nasi…pantang nyisa). Perasaan jadi gak enak. Jangan-jangan ni nyeri telan kebablasan nih…jadi sakit. Abis mandi, sholat, langsung bobok nyenyak di kamar Helen.

Pagi-pagi bangun…jam setengah lima. Kata Helen, Jakarta macet…musti berangkat pagi-pagi. Buru-buru deh mandi, sholat subuh, ganti baju, cek dokumen yang akan dibawa interview (meski sebelumnya dah discan dan dikirim ke web). Beneran….jam setengah enam pagi, udah banyak banget penumpang nunggu bus. Ampuuuuuuuuuuuuuun Jakarta! (Macet ditemani nyeri telan…sesuatu).
Nyampe di Menara Rajawali, sudah lumayan banyakk orang antri urus visa…dapat nomor sepuluh. Gila banget! Padahal baru jam 7.30 wib dan sodara-sodara…kami dipersilahkan menunggu karena kedutaan baru buka pelayanan jam 08.30 wib.

He,he…berhubung lapar, Helen pun ngajak cari makan yang segera kuamini. Karena…perut nasi ini kan gak boleh gak keisi lewat jam tujuh. Nemulah kami penjual soto pinggir jalan. Gak tahu deh…porsinya yang kebanyakan atau bener-bener nyeri telanku mengkhawatirkan, itu nasi soto cuman habis sepertiga. OMG!!

Karena Helen musti kerja…dia gak nungguin, tapi balik ke Dharmais. Btw, makasih banyak ya, Len…
Tinggallah daku sendiri di antara orang-orang tidak dikenal. Untung gak lama karena namaku di panggil untuk di kasih tanda pengenal, trus diminta naik ke Lt. 9 (Kedutaan swedia).

Lagi-lagi…disitu harus ngisi daftar tunggu dan dapat nomor sepuluh. Pas petugasnya baca namaku, dia tanya, “pengurusan online?”

Ku jawab, “Ya.”

Dia tanya lagi, “bukti pembayarannya di bawa?”

Ku jawab lagi, “Ya.”

Trus dia bilang, “Silahkan tunggu”.

Yaelaaaaaaaaaaah…

Semua tertib…dipanggil sesuai antrian. Karena dapat nomor dalam…aku sih jelalatan saja. Ada rombongan bapak-bapak ma ibu-ibu beserta petugas dari travel agent. Rupanya mereka mau jalan-jalan ke eropa dengan jalur swedia-finlandia-rusia. Abis itu mereka ramai cerita-cerita tour mereka yang sebelum-sebelumnya. Mulai dari afrika sampai dengan ke israel, trus jepang, trus USA. Tak pernah mereka bercerita menjelajah Indonesia. Aku sih berprasangka baik…mungkin mereka dah kenyang menjelajah seluruh Indonesiaku yang indah. Saking kenyangnya sampe males bercerita. Karena kalau tidak, ironis banget kan, lebih kenal negara orang dari pada negeri sendiri. Padahal Indonesiaku ini kan keindahannya mewah sekali. Aku aja kalo ke swedia bukan karena kongres, masih lebih milih menyusuri raja ampat dan papua atau sumba-flores (duitnya sama kayaknya. Hi,hi…mahal kan?).

Pintu-pintu di kedutaan semua pakai kode, ngomong via interkom karena antara petugas dan pengunjung dibatasi kaca. Gak bisa keluar masuk seenaknya. Dan katanya, kacanya anti peluru. Tapi ketertiban itu dikacaukan oleh seseorang yang baru datang…dari deplu (aku dengernya) mau urus visa juga. Katanya ada meeting penting dan harus berangkat jum’at. Nunggu beberapa saat, abis itu dia nanya ke resepsionis, “Masih lama?”
Dijawab sama si mbak, “saya tidak bisa memastikan. Setelah yang didalam keluar, ada Ibu  A…kemudian ada ibu Arum…baru kemudian bapak.”

Si Bapak dah mulai ngeluarin tajinya, “Saya habis ini ada rapat penting. Bisa tidak saya ketemu atasan Anda. Saya pakai visa diplomat kok”. Jiaaaaaaaaaaah…mulai deh mental orang kita ini. Menganggap dirinya paling penting. Setelah si Bapak ngomel-ngomel..si Mbak cantik itu pun manggil atasannya, perempuan swedia. Jawabannya pun intinya sama, kagak bisa main serobot kecuali diijinkan oleh orang sebelumnya.
Dan aku jadi korbaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan…. (perasaan idul adha masih lama ya). Yo wes lah Pak…aku kasihan sama si mbak itu lo omelin mulu.
Akhirnya uji kesabaranku berakhir saat namaku dipanggil disertai permintaan maaf karena tadi diloncati. He,he…Nyampe di tempat interview, yang interview orang indonesia ternyata. Trus ramah lagi. (maklum…keseringan denger cerita interviewer nya biasanya judes-judes…caile, berasa apa sih).

And do you know what…
Berkasku yang kubawa diminta karena yang dikirim online sebagian gak bisa kebuka (???). Untung dah dipersiapkan…undangan: cek!. Surat rekomendasi institusi: cek!, tiket pesawat: cek!, bukti booking hotel: cek!, asuransi perjalanan: cek!, paspor: cek!, foto: gak perlu karena dah online, surat referensi bank dan rekening koran: tidak perlu karena dah terbayar semua. Hadewwww…padahal itu biaya minta surat referensi bank itu musti merogoh kocek 200 ribu. Useless.
Abis itu cek aplikasi visa.
First entri kutulis Sweden…dan ternyata harusnya Germany karena pesawatku oper di Frankfrut. He,he…aku isi langsung sweden karena aku pikir kan gak masuk ke Jerman, cuman melipir di bandara doang…yah…pembelajaran bikin schengen visa.
Setelah cek and ricek kelar. Mulai deh foto biometric (fotonya error mulu…ampe diulang 6 kali), abis itu tanda tangan, trus diambil sidik jari 10 jari tangan kita. (Haaaaaaaaaaaaah…berasa mirip buronan aja. Emang mereka kalo mau masuk negara kita ribet gini?)
Kelar wawancara…aku disuruh hubungi kedutaan hari kamis atau jum’at untuk cek visa keluar atau belum/ tidak. Boleh diwakilkan dengan membawa bukti pembayaran  visa dan  surat kuasa yang ditanda tangani pemberi dan penerima kuasa beserta foto copy ktp keduanya.

Nah…ribet lagi kan?

Terpaksa deh balik ke Dharmais lagi buat minta tolong helen ngambil (siapa juga mau ngebuang duit satu juta buat ambil visa doang). Ampe dharmais aku yakin Helen dah kabur ke kampus, jadi aku telpon mas hardian buat nitip surat ke helen. btw, nyeri telanku tambah parah…butuh sesuatu yang hangat. Aku nunggu mas hardian di kantin sambil pesen bakso dan teh hangat. Bener-bener prihatin karena bakso pun gak habis. Huaaaaaaaaaaaa….bener-bener sakit nih. Belum lagi hidung dah mbeler. Lengkap penderitaanku.
Untung mas hardian langsung nongol sambil bawa kertas kosong yang kupesan buat tulis surat kuasa. Ku bikin dua, satu helen satu dia. Jadi kalau helen gak bisa, mas hardian tak minta tolong ambil.
Nongkrong di darmais sampe jam dua lebih, trus kuputuskan langsung ke bandara. Nyampe di bandara, aku nyari makan (lagi?) karena penasaran dengan nafsu makanku yang turun. Kupilih di AW karena siapa tahu ternyata perutku hanya mau terima yang kering-kering (non kuah). Dan ternyata bener. Menu yang biasanya kupilih sebagai menu terakhir yang akan aku makan atau kalau semua warung tutup itu ternyata bisa aku habiskan. Horeeeeeeeeeeeeee!
Feeling a bit better…cek in. Abis itu cari musola, sholat. Baru tiduran di bangku bandara yang lumayan sepi sambil charge batere hp. Lumayan. Sempet diingetin temen via sms tentang deadline lomba riset yang jatuh esok hari (tanggal 7 mei) padahal data belum diolah dan jangan-jangan aku dah lupa ama program ssps. Oh Tuhan…padahal nyampe surabaya aku pengen tiduuuuuuuuur. tak bisakah yang lain menyingkir dulu. Butuh istirahat nih!

Dan lagi-lagi…citilink on time. Thank you citilink for being on time sehingga penderitaanku tidak bertambah panjang. Jam 7 lewat pesawat landing di Juanda. Ambil taksi ke kertajaya, dan sukses tidur di taksi ampe depan rumah. Di rumah mba Tirza udah menunggu dengan data-datanya. Aku bilang, besok pagi aja kita kerjakan di rumah sakit. Di kamar, aku cek program SSPS ku masih ada, kubuka…coba masukkkan satu-dua data…masih ingat. Okey! Dilanjut besok ya, Riset. Beri kesempatan tubuh dan otakku istirahay dulu yeeee.

Jadi sodara, tidak heran kalo esok hari, aku harus berobat ke GP kalau tidak mau betul-betul KO karena badan dah mulai meriang. Pagi itu juga aku email ke panitia lomba, minta tambahan waktu satu hari untuk pengolahan data. Dan dikabulkan. He,he…

Kelar mengolah data, aku berikan data itu ke mba tirza untuk dilanjutkan pembahasannya. Dan aku? Setelah ambil obat, pulang, makan, minum obat trus bobok. Sampai besok dunia, i really need to take a rest.
….
So…bisa dibayangkan hari ini senengnya aku karena riset sudah terkirim dan dapat kabar dari sweden embassy, “It’s approved!”

Akhirnya….
Hello, Sweden…I’m coming!!!!

Persiapan ke Swedia: Berburu

Berawal dari iseng.

Iseng kirim abstract ke panitia kongres…eh, diterima.
Abis itu bingung karena musti registrasi. Delapan juta ciiiiiiiiiiiin…. kagak kurang mahal neh? Dampak dolar terus melambung, rupiah pun terjun bebas sebebas bebasnya.

Berburu registrasi murah.

Super early bird semakin dekat aja… tengok kanan dan kiri. Siapa sih yang mau berangkat? Bukan…bukan mau cari teman. Justru kalau ada yang berangkat, aku gak usah ikut aja. Kan sudah ada wakil dari indonesia. Tapi sepertinya semua ragu… dan

The 20th WCET Congress

The 20th WCET Congress

ragunya sudah tingkat dewa. Waduh! Gawaaaaaaat.

Akhirnya ya udah deh…registrasi. Biar dapat harga super early bird dengan harga member. Tapi tetep cin…8 jeti-an. Bayangkan kalo bukan super early bird dan bukan member…bisa tembus 10 jeti kayaknya. Cuman registrasi doang!

Mulai perburuan kedua.
Tiket pesawat.

Sekedar berbagi info…swedia itu dekat dengan kutub utara sana. Sedangkan Indonesia ada di katulistiwa. Jadi butuh melewati 1/4 diameter bumi nih jauhnya. Alhasil yang namanya tiket pesawat gak ada yang membuat dua ujung bibir tertarik keatas. Bandingkan KLM, Turkish, Emirates, Lufthansa, garuda…lha kok garuda ki juga muahaaaaal to yo. Padahal maksud hati mau cinta maskapai sendiri. Jatuhlah pilihan ke Lufthansa…paling murah diantara yang mahal-mahal. 1020 USD PP. Silahkan dikalikan dengan rupiah yang 1 USD=11.850 rupiah.

Ah…kapan nih dolar turun?

Ampe belek mata mantengin harga tiket tiap hari dan penguatan rupiah terhadap dolar yang lambat banget. Ops…tiket turun ke 1010 USD. Trus turun ke 1008 USD. Asyiiiik…dolar juga turun lagi. Otak sudah berputar cepat menghitung angka-angka. Tahan Arum…tunggu..jangan buru-buru booking dulu. Deg-deg an tiap hari pas buka web lufthansa. Eiiii…turun lagi ke 1004 USD. Aduh…ini rupiah menguatnya lelet amat ya. Seminggu kemudian tiket naik ke 1008 USD. Wadawww! Tapi dolar turun. Eh…2 hari tiket naik 1010 USD. Ya Allah…please help me. 3 hari kemudian tiket naik…1012 USD, dolar turun ke 11.460 rupiah. Esok paginya tiket menjadi 1018 USD, rupiah menjadi 11.370 rupiah. I think it’s the time…
Bismillah… Booked!

Perburuan ketiga: penginapan.

Sebenarnya sudah sejak web kongres dibuka…aku dan mentelengin yang namanya hotel/ hostels atau B&B yang ditawarkan panitia. But all the prices are too high for me. Hanya satu hostel yang nyempil dan menarik perhatian. Iseng aku lacak ke webnya langsung. Ternyata yang namanya SGS Vescobostader ini selain menyediakan kamar permalam, mereka juga menyewakan mingguan yang harganya jauh lebih murah. Trus mereka juga menyediakan apartemen berisi 2, 4 atau 6 orang. Harganya jauh dibawah rata-rata hostel yang ditawarkan panitia.
Nah..makanya pas  mau booking, dan buka web kongres, terheran-heran deh karena itu hostel tidak ada lagi di daftar. Untung masih ingat namanya jadi di search di google dan bingo! Ketemu. Lihat harga per room/ night itu 640 SEK atau 1.152.000 rupiah. Kalo dihitung 1 minggu disana bisa habis 8 jutaan…dibagi berdua, seorang masih 4 jutaan. Pas baca-baca penawaran lain di hostel itu…eh ada disebutkan kalau booking untuk 8 hari bisa dapet harga 2640 SEK (4.752.000 rupiah). Dibagi berdua sekitar 2.5 juta/ orang untuk 8 hari atau 312.500 rupiah/ orang/ hari. Alhamdulillah…untuk ukuran eropa, terlebih swedia yang sangat mahal, masih bisa dapat harga segitu. Dan lebih beruntung lagi, disitu disediakan dapur bersama jadi ada kesempatan buat masak sendiri. Lebih menghemat lagi mengingat harga makanan di Swedia itu aje gile mahalnya…

Registrasi sudah.

Booking tiket sudah.

Booking penginapan sudah.

Sekarang tinggal berburu visa.

Ya Allah…semga Engkau mudahkan segala urusanku

#H2C menunggu visa keluar

Senja di Kupang

 Pantai dengan segala suasananya selalu memukauku. Karena itu, setelah acara seminar di Kupang selesai dengan sangat sukses (bayangkan saja, pesertanya sampai 850 orang. He,he…serasa kampanye saja), teman-teman dari STIKES CHM-K mengajakku pergi ke Pantai. Aih, mana bisa nolak. Ha,ha… Pukul 17.00, aku,john, Adi, Lupi, Ema dan Elin pergi ke sebuah pantai di Kupang. 

Sinar matahari yang mulai redup, suara ombak, hembusan angin pantai serta bau laut menyatu dengan warna-warna indah diujung langit menyajikan goresan lukisan yang sempurna. Riuh rendah suara canda anak-anak,  kesibukan para bapa tua menyiapkan perahu untuk melaut serta teriakan ibu-ibu penjaja jagung bakar yang menarik minat pembeli menjadi pelengkap damai yang ada.   Kami pun seakan enggan untuk beranjak….

It’s just another site of Indonesia, another site of Flobamora, another site of me……

Kuning,jingga dan lembayung berbaur dengan sempurna di batas cakrawala. What a beautiful twilight.....

Mengejar Sunrise Brom

Image

Mengejar Sunrise Brom

Kepengennya menikmati matahari terbit di puncak Bromo. Dan jelas, foto ini bukan gunung Bromo. Hanya pemandangan tepi sawah, di Tongas, suatu daerah jauh dari kaki Bromo. But looks! Isn’i it very amzing? Hangatnya sinar matahari mengusir dingin yang membalut pagi, menciptakan kilauan kristal pada bulir-bulir embun di batang padi, berbaur manis dengan canda riang teman-teman, memecah keheningan. Indahnya negeriku….